web analytics
Candhik Ayu dan Kehadiran Nona Ratmi

Candhik Ayu dan Kehadiran Nona Ratmi

oleh Ade Wulan Fitriana

Suatu hari, mentari kala itu mulai terbenam. Langit biru yang telah lama menghiasi langit desa akhirnya bertemu dengan warna kuning keemasan sehingga menciptakan gradasi warna merah menyala di antara keduanya.  Suatu pemandangan elok di waktu sore ini sering disebut oleh orang Jawa “Candhik Kala” atau “Candhik Ayu’.

Candhik Ayu? sebuah tarian yang diciptakan oleh Untung Muljono dan kedua rekannya, tepat pada tanggal 14 Februari 1984. Tarian bernuansa jawa yang terinspirasi oleh indahnya langit sore dan beberapa anak perempuan yang bermain ketika itu. Anak perempuan yang biasa saja saat bermain waktu itu sedang tertawa bahagia maupun bersedih.

Hmm, mungkin citra tentang tarian Candhik Ayu sama seperti yang saya lihat setiap sore. Setelah selesai dengan urusan antar mengantar surat, saya menikmati senja dengan duduk di kursi kayu, di teras depan sebuah istana kayu beratapkan ilalang. Ditemani kopi dan kue-kue kering, beristirahat sambil melihat tontonan itu.

Kala itu, selalu saja ada anak-anak perempuan menari dan segala pernak-perniknya. Bukanlah pakaian yang berwarna mencolok ataupun dandanan cemong macam Barongsai, pernak-pernik itu adalah peristiwa-peristiwa menggelitik yang kadang terjadi di antara mereka. Sungguh polos, gadis-gadis cilik itu sangat jujur dalam melimpahkan segala perasaan di dalam sanubari masing-masing.

Jangan, jangan berprasangka buruk dulu dengan saya. Saya masih menyukai perempuan dewasa. Saya masih normal. Lagipula, saya betah duduk di sini juga ada alibinya. Ya, ada sesosok gadis dewasa yang menemani adik-adiknya. Gadis dewasa bermata bulat berkilau dengan bibir agak tebal dan berhidung mancung. Alisnya juga tegas.

Saya belum pernah berkenalan dengannya, tepatnya belum berani. Maksudnya, apalah saya yang terlihat kuno dengan kacamata bulat besar seperti orang-orang zaman perang dunia ini? Tetangga sendiri saja saya tidak terlalu banyak bicara, apalagi dengan gadis yang entah darimana asalnya bisa dekat?

Entah apa yang menggerakkan tubuh dan lidah ini, saya mencoba untuk pertama kalinya mengajak bicara gadis itu. Setelah selesai menari dan bersegera berkemas pulang,

“Selamat sore nona, setiap hari saya selalu melihat nona menari bersama anak-anak perempuan di depan rumah saya. Apakah nona orang sini?”

“Oh, Tuan yang biasanya menonton kami menari ya? Saya selalu melihat Tuan duduk  di depan rumah Tuan.”, nona itu kemudian menjawab,”Saya bukan orang sini, saya dari desa sebelah. Saya ke sini hanya saat Candhik Ayu datang untuk mengajari anak-anak  menari”.

Setelah berkenalan, saya akhirnya mendapatkan nama nona bertubuh ramping itu. Ratmi namanya.

Ketika surya mulai digantikan rembulan, kami berpamitan dan nona muda itu segera mengayuh sepedanya kencang-kencang. Wajahnya yang pada awalnya kemerah-merahan mendadak pucat seperti dikejar setan. Mungkin ia masih menaati aturan lama bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah malam-malam.

Hampir setiap hari, saya selalu menemui Ratmi selesai mengajar tari hanya sekadar berbincang ringan, kejadian itu kembali terulang kembali. Selalu, semuanya terjadi ketika hari mulai gelap setelah berkumandanganya adzan. Saya tidak mengerti lagi kenapa ia begitu takut dengan malam hari. Sungguh, tingkah laku nona tidaklah wajar.

Bayangkan, wajah yang murah senyum dan lembut ketika mengajarkan gerakan tari kepada anak-anak kemudian mendadak panik dan gemetaran ketika bergegas pulang. Matanya mendadak awas dengan bibir gemetaran. Setiap kali mencoba bertanya apa yang terjadi, Ratmi tidak menjawab dan segera pergi.

Hingga pada suatu malam pada bulan purnama, gadis-gadis kecil serta seluruh warga desa ini melakukan persiapan pentas seni desa keesokan harinya. Ratmi ikut serta dan menginap, sikap aneh itu tidak muncul seperti malam-malam sebelumnya. Tangan-tangannya terampil menempel-nempelkan kertas emas membaluti topi yang terbuat dari karton. Wajahnya malah tampak berseri-seri.

Beberapa menit sekali aku menatap wajahnya yang tirus itu, sembari membentuk pola huruf yang nanti akan dipasang di banner. Dan sial… ia menyadari itu! Alhasil, Ratmi menghampiri saya dengan tetap membawa pekerjaannya itu.

“Tuan, ada apa? Kok dari tadi melihat saya terus?”

Argh, pasti wajah ini memerah! Semua sudah terlanjur, saya harus memberanikan diri untuk mengataan yang selama ini dipendam menjadi rasa penasaran.

“Nona… saya sungguh heran. Sangat heran! hampir setiap kita bertemu, setelah adzan maghrib, nona pasti langsung tancap gas dengan wajah ketakutan. Tetapi untuk malam ini… kenapa tidak seperti itu? Apa yang terjadi?”

Ratmi tiba-tiba menjadi pucat pasi, “Tuan yakin ingin mengetahui jawabannya?”

Saya mengangguk.

“Apakah Tuan sungguh-sungguh yakin?”

Saya mengangguk lagi.

“Ikut saya, Tuan. Mari.”, tangannya yang halus dan hangat memegang erat tangan saya.

Diantarlah saya menuju suatu tempat. Arahnya sama dengan arah jalan pulangnya. Kemudian sampailah kami di sebuah hutan yang sangat rimbun. Cahaya bulan pun tidak sanggup menembus rimbunnya pepohonan itu. Ketika kami berhenti, seketika tangannya yang sebelumnya hangat menjadi sedingin es. Wajahnya tetap pucat, tetapi warna pucatnya mulai menyebar ke seluruh tubuhnya seperti mayat!

Seketika badan bergetaran dari ujung kaki hingga rambut, tak terkontrol. Kedua mata ini mencoba memalingkan pandangan dari wajah Ratmi ke arah yang lain hingga sampailah ke suatu titik, gundukan tanah di ditancapkan balok kayu, seperti sebuah makam.

“Apakah Tuan  melihatnya? Inilah rumah saya, Tuan. Inilah! Saya dahulunya juga merupakan gadis yang bebas bermain, tertawa, dan  menangis, di sinilah tempatnya! Saya menari bersama teman-teman di sini setiap Candhik Ayu menghiasi langit daerah ini!”

Ratmi menangis terisak-isak “ Tapi, entah kenapa, banyak orang dari desa saya tidak suka jika saya bermain di desa ini, apalagi setelah saya mulai menginjak dewasa. Jika pulang malam, saya dikira berbuat yang tidak-tidak! Dan puncaknya ketika bulan purnama karena itu adalah pantagan sesungguhnya sehingga saya sekarang menjadi seperti ini”.

“Maka dari itu, saya lebih baik berada di desa Tuan karena keramahan dan kebaikan warganya, saya lebih baik di sana selamanya, selama Candhik Ayu menghiasi langit.”

Saya membisu. Tidak tau lagi harus berkata apa dan melakukan apa. Tidak mengerti lagi mengapa Ratmi begitu menyukai desa yang saya tempati itu sebagai rumah. Apakah desa saya menjadi pelarian baginya bahkan sampai menjadi arwah gentangan?

“Tuan, tuan memiliki tetangga yang ramah, seluruh warga di desa Tuan adalah orang baik-baik dan saling peduli. Bersyukurlah dan jangan sia-siakan mereka. Sesibuk apapun, luangkanlah waktu sebentar untuk sekadar menyapa dan berbincang satu dua topik pembicaraan yang baik. Mereka tidak sekaku dan sedingin warga di desa saya. Mereka itu tuli, maka yang bisa mereka percayai adalah penglihatan mereka yang terbatas.”

Keesokan harinya, Ratmi tidak pernah tampak lagi. Pentas terselenggarakan walaupun anak-anak gadis yang dibimbing olehnya agak panik, namun semua menjadi terang ketika saya memberitahukan makamnya dan sekaligus memberitahukannya kepada ketua desa Ratmi agar dikuburkan secara lebih layak.

Setiap sore, Candhik Ayu itu tak lagi hadir dalam bentuk seorang gadis muda nan jelita seperti Ratmi, tetapi semua anak gadis yang masih bersemangat untuk menari dan bermain di depan rumah saya dan warga lainnya. Saya menyaksikan kebahagiaan gadis-gadis kecil yang dengan lincah menggerak-gerakkan tubuh mereka dengan para tetangga dekat rumah sembari meminum kopi dan kue-kue kering.

 

Ilustrasi : Ade Wulan

Leave a Reply

Your email address will not be published.