web analytics

Menjadi Tanah dan Angin

Kemudian butiran senja menghambur

Menyudutkan setiap sudut kota menjadi butiran kabut

Yang memanjang di setiap sisinya

Mengelabuhi para petualang yang kehilangan jejak

 

Lalu cakrawala pun menafikkan takdirnya

Menjembatani siang menjadi kelabu

Melukiskan pelangi di malam

Entah kelam atau iman, tak begitu berbeda

 

Dewa di atas sana mungkin sedang bingung

Meringkuk di balik kelambu yang tak tertembus

Menghitung setiap upah dan dosa yang tercerabut dari setiap jiwa

Kau lihat bulan itu? Tidakkah lebih menakutkan?

Bukan emas atau perak, melainkan merah darah

 

Bahkan jika ini memang sebuah keharusan

Tak perlulah sebuah kemenangan

Jika para pengikut sayembara itu membawa sebilah pedang

Pedang bermata dua berlumuran dengan dera

 

Kau dengar bisikan itu? Bisikan di telinga kirimu?

Bisikan pedang yang saling berbenturan

Jangan kau dengarkan itu, tapi dengarkanlah

Mereka yang merintih di balik pasir putih

Tidak, bukan putih, malainkan hitam

Jangan kau dengarkan itu, tapi rasakanlah

Angin yang membawa desingan peluru dan meriam

Jangan kau dengarkan itu, tapi hancurkanlah

Mereka yang membungkukkan punggungmu

dan mengusap wajahmu dengan tangisan

Jangan kau dengarkan itu, tapi relakanlah

Mereka yang meninggalkanmu demi sejumput cahaya

 

Lihatlah, tanahmu itu telah mengering

Jika kau menjadi tanah, apa yang akan kau lakukan?

Sudikah engkau membiarkannya?

Namun apa yang dapat engkau perbuat?

Sudahlah, tanahmu itu sudah kering, tapi kau juga hanya tanah

Oh, jadi kini kau sudah menjadi angin?

Leave a Reply

Your email address will not be published.