Judul Buku : Assassin’s Creed The Secret Crusade
Penulis : Oliver Bowden
Penerbit : Penguin Books
Tahun Terbit : 2011
Tebal : 400 Halaman
Peresensi : Faishal Fadillah Sovano
Perang ribuan tahun yang tak akan ada akhirnya, dua ideologi yang berbeda memaksa kedua belah pihak untuk saling berbenturan satu sama lain. Assassins dan Templars, dua kubu musuh bebuyutan yang selama ribuan tahun bertarung kembali bentrok antar kepentingan di tengah berdarahnya perang salib.
Buku ke-3 dari adaptasi video game Assassin’s Creed ini mengambil cerita kehidupan seorang Altair, pria keturunan Arab telah menyerahkan hidupnya kepada ordo Assassins semenjak kecil. Kejeniusannya berasal dari ayahnya yang juga merupakan salah seorang Assassin terbaik di ordo Assassin. Kehebatan dan ketangkasannya membuat Atair menjadi seorang Assassin yang paling di segani di dalam ordo, namun ketika kecongkakkan dan kesombongan tumbuh di dalam dirinya, dia harus membayar mahal harganya.
Kegagalannya dalam pertemuan nya dengan Robert De Sable ketika menjalankan misi untuk menguak senjata rahasia Templar yang akan digunakan untuk mengontrol pikiran manusia bersama kedua rekan nya, Malik dan Kadar, membuat Altair kehilangan segalanya. Dirinya harus menebus dosa dan memulai semuanya dari awal lagi. Sang pemimpin ordo Assassins, Al-Mualim memecatnya dan menurunkan pangkatnya, serta memberikan 9 nama petinggi Templar yang dipercaya memiliki hubungan dengan Robert De Sable dan memiliki petunjuk mengenai senjata rahasia Templar.
Dengan pedang di tangannya dan sedikit kehormatan yang tersisa di dalam hatinya, Altair pun berangkat melakukan perjalanan menjelajahi seluruh penjuru Timur Tengah di tengah berdarahnya perang salib untuk memulihkan nama baiknya dan mengembalikan kepercayaan Al-Mualim kepadanya.
Buku ini ditulis oleh penulis yang juga menulis buku Assassin’s Creed Renaissance dan Assassin’s Creed Brotherhood, Oliver Bowden. Berbeda dengan suasana Italia pada zaman Renaissance pada buku sebelumnya, The Secret Crusade memberikan suasana yang lebih ‘gelap’ dan lebih muram. Suasana kota Acre yang dipenuhi oleh para ksatria perang salib yang berbaju besi, keadaan rumah dan peralatan yang terbuat dari tanah liat, Operasi sosial yang dilakukan oleh Templars, serta suasana religius di Jerusalem yang notabene pada masa itu diperebutkan oleh Umat Islam dan Umat Kristiani menghiasi setiap pojok buku ini. Para pembaca juga disuguhkan karakter Altair yang bertolak belakang dengan karakter Ezio yang digambarkan sebagai seorang playboy dan womanizer. Sebagai seorang Assassin dari saat dia masih kecil, Altair dilatih hanya untuk berbicara ketika perlu dan tidak terlalu peduli dengan wanita atau teman disekitarnya, memberikan kesan lebih garang dan cool. Cerita masa tua Altair yang tragis dan penuh pengkhianatan juga diceritakan dengan rapi di dalam buku ini.
Semua kalimat yang ada di dalam buku ini diambil dari sudut pandang Niccolo Polo, Ayah dari Marco Polo yang digambarkan bercerita kepada temannya yang bertanya tentang asal usul Altair, dari awal yang sederhana sampai akhir hidupnya sebagai seorang Assassin terbaik yang pernah ada.