web analytics
Di Dalam Film Dokumenter “Dirty Vote : Mengungkap Kejanggalan dan Kecurangan di Balik Pemilu 2024”

Di Dalam Film Dokumenter “Dirty Vote : Mengungkap Kejanggalan dan Kecurangan di Balik Pemilu 2024”

Film dokumenter yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari serta disutradarai oleh Dandhy Laksono ini mengungkap berbagai instrumen kekuasaan yang telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu serta merusak tatanan demokrasi yang disampaikan dengan analisa Hukum Tata Negara. 

Pencalonan Gibran yang Dinilai “Mendadak”

      Film ini dibuka dengan video-video wawancara Jokowi beberapa tahun yang lalu. Ia menyatakan bahwa anak pertamanya, yakni Gibran Rakabuming Raka belum berminat untuk terjun pada dunia politik “Masih seneng seratus persen di bidang usaha, feeling politiknya belum,” lanjutnya. Bahkan, ketika ditanya tanggapan mengenai Gibran diajukan menjadi cawapres, Jokowi juga menganggap bahwa Gibran bukan kandidat yang tepat untuk itu. “Pertama umur, yang kedua baru dua tahun aja jadi walikota,” sambungnya. 

        Akan tetapi, pada tanggal 22 Oktober 2023, Gibran yang sebelumnya dinilai “tidak siap” oleh Jokowi diumumkan menjadi calon wakil presiden, berpasangan dengan Prabowo Subianto. Pada wawancara yang lain, Jokowi memberikan keterangan, yakni  “Orang tua itu hanya mendoakan saja. Jangan mencampuri urusan anak kita,” yang dapat ditafsirkan bahwa Jokowi tidak ikut-ikutan dalam pencalonan Gibran sebagai cawapres.

         Jokowi pada wawancara yang lain juga memberikan pernyataan, “Presiden itu boleh, lho, kampanye. Boleh, lho, memihak,” yang sudah mulai menunjukkan indikasi ketidaknetralitasannya pada Pemilu 2024 ini. Hal tersebut diperkuat juga dengan tindakan istrinya, Iriana, yang terlihat mengacungkan dua jari sebagai bentuk keberpihakan pada salah satu paslon.

      Dalam salah satu orasi, Jokowi menegaskan bahwa Ia mengetahui dengan lengkap bagaimana dinamika suatu partai serta arah dan tujuan partai tersebut. Ia menambahkan pernyataan bahwa Ia memiliki data-data yang komplit yang bersumber dari intelijen Polri, TNI, BIN, serta informasi-informasi di luar itu yang hanya menjadi milik Presiden. 

Rencana Pemilu Satu Putaran

           Selanjutnya, highlight dari Film ini adalah mengenai “Apakah pilpres akan satu putaran?”

Jika dilihat dari lembaga-lembaga survei, memang paslon 02 terlihat lebih unggul dibandingkan dengan paslon yang lain. Hal tersebut membuat mereka getol menginginkan Pemilu dilaksanakan dengan satu putaran karena mempertimbangkan tingginya risiko kekalahan jika Pemilu dilakukan dengan dua putaran. Sebagai contoh, bisa dilihat pada konteks Pilkada DKI Jakarta yang secara konstan posisi paling atas dimenangkan oleh pasangan Ahok-Djarrot yang diikuti oleh Anies-Sandi dan AHY-Silviana. Akan tetapi, keadaan berbanding terbalik pada Pemilu di putaran kedua. Hal itu disebabkan oleh bersatunya pihak-pihak yang melawan kekuatan yang paling unggul yakni Ahok-Djarrot, memiliki kekuatan suara yang setara dengan penjumlahan pendukung Anies-Sandi dan AHY-Silviana. Maka dari itu pasangan Ahok-Djarrot harus kalah. Jika dilihat pada konteks Pilpres 2024 ini, terdapat wacana serupa, yakni Gerakan Empat Jari yang seakan-akan menjadi tawaran yakni gerakan untuk menggabungkan kekuatan paslon 01 dan 03.

 

Pentingnya Faktor Persebaran Wilayah dalam Pemilu

       Film ini juga menyoroti mengenai pentingnya persebaran wilayah dalam pemenangan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Syarat dilaksanakannya pemilihan satu putaran bukan hanya jumlah suara mencapai 50%+1, tetapi juga dengan syarat mencapai sedikitnya 20% suara di setiap provinsi dan tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia seperti yang disebutkan pada pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Maka dari itu, kemenangan satu putaran bukanlah hal yang mudah.

      Faktor sebaran wilayah ini dinilai lebih penting daripada faktor sebaran suara dalam memenangkan pemilihan Presiden. Hal ini bisa dilihat pada pulau Jawa dengan populasi terbesar, tetapi hanya memiliki enam provinsi, dibandingkan dengan Sumatera yang sangat menentukan sebaran wilayah karena memiliki sepuluh provinsi. Jika melihat pada wilayah lain, yakni Papua, yang awalnya hanya memiliki dua provinsi dan kini dimekarkan menjadi enam provinsi merupakan sasaran empuk untuk dapat mencapai syarat satu putaran yakni 20% di setiap provinsi. Pemekaran provinsi-provinsi di Papua ini juga langsung diikutkan pada Pemilu 2024, berbeda dengan provinsi baru lainnya, yakni Kalimantan Utara yang harus menunggu selama enam tahun untuk bisa mengikuti pemilu 2019. Bisa disimpulkan, bahwa pemekaran yang terjadi di Papua merupakan hal krusial dalam syarat sebaran wilayah yang mengharuskan paslon yang hendak dilantik unggul di lebih dari 19 provinsi dari total 38 provinsi yang ada di Indonesia. 

         Pada pilpres sebelumnya, tahun 2014 dan 2019 ternyata suara Jokowi selalu unggul di wilayah Papua. Secara kebetulan, ketika Jokowi memenangkan pilpres, Kapolda Papua dijabat oleh Tito Karnavian yang merupakan Menteri Dalam Negeri pada pemilu saat ini. Maka, hal penting lainnya, yakni mengenai “Siapa yang memegang wilayah-wilayah tersebut”.

Ketidaknetralitasan PJ Kepala Daerah

      Sejak 2021, Jokowi sudah melakukan 20 penunjukan PJ Gubernur. Presiden memiliki kewenangan untuk menunjuk pejabat gubernur sekaligus melakukan pengaruh luar biasa pula dalam penunjukan PJ Bupati dan Walikota. Peran dari Tito Karnavian sebagai Mendagri dalam penunjukan PJ Bupati dan Walikota pada dasarnya tidak mematuhi Putusan MK yang menentukan bahwa proses penunjukan pejabat harus transparan dan mendengarkan aspirasi masyarakat daerah dan peraturan teknisnya. Selanjutnya, Komisi informasi pusat dan ombudsman juga menyatakan bahwa penunjukan itu merupakan maladministrasi. Seluruh wilayah yang sudah ditunjuk PJ nya oleh Jokowi itu memiliki jumlah daftar pemilih tetap sebesar 140 juta, setara dengan 50 persen lebih suara pemilih tetap di Indonesia.

          Kemudian, siapa saja PJ Gubernur yang sudah diangkat oleh Jokowi ini?

Nyatanya, PJ Gubernur ini merupakan orang-orang sangat berpengaruh pada pemerintahan Jokowi, diantaranya:

  1. PJ Jabar: Bey Machmudin, pernah menjadi kepala biro kesekretariatan presiden dan menjadi deputi kesekretariatan presiden.
  2. PJ Jakarta: Heru Budi Hartono adalah kepala kesekretariatan presiden
  3. PJ Jateng: Nana Sudjana, pernah menjadi kapolresta Surakarta ketika Jokowi menjabat sebagai walikota Surakarta
  4. PJ Aceh: Achmad Marzuki yang berdinas di kemiliteran kemudian ditarik ke kemendagri yang langsung menjadi PJ dalam tiga hari

   Selain itu, beberapa PJ yang diangkat juga melakukan hal-hal yang menunjukkan ketidaknetralan dalam Pemilu 2024 ini, misalnya:

  1. PJ Kalbar, menghimbau warganya secara terang-terangan untuk memilih Presiden yang mau melanjutkan IKN
  2. PJ Bali, melakukan perintah tindakan untuk mencabut baliho dari partai ataupun capres tertentu 

Ketidaknetralan tersebut juga terjadi di PJ Bupati dan Walikota, misalnya PJ Muna Barat yang menghimbau untuk pro Ganjar serta PJ Sorong yang menandatangani perjanjian untuk harus memenangkan ganjar sebesar enam puluh persen.

      Hal-hal tersebut dapat terjadi karena wewenang dan potensi kepala daerah yang sangat besar peluangnya untuk menjadi faktor pemenangan pemilu khususnya dalam hal persebaran wilayah. Setidaknya, ada tiga hal yang sangat potensial untuk disalahgunakan, diantaranya:

  1. Mobilisasi birokrasi, contohnya, Bobby Nasution, walikota Medan yang menunjukkan sikap tidak netral yang diterjemahkan menjadi mobilisasi massa.
  2. Izin lokasi kampanye, contohnya enam kampanye salah satu capres, Anies Baswedan yang izinnya mendadak dicabut oleh pemda dan Kasus Deklarasi Desa Bersatu di GBK. Walaupun hanya ada 8 asosiasi desa, pada dasarnya telah meliputi 81 juta suara atau setara dengan ⅓ dari jumlah dpt yang ada.
  3. Memberikan sanksi atau membiarkan kepala desa tetap menjabat.

Ketidaknetralitasan Kepala Desa 

        Selain di tingkat PJ, kepala desa yang merupakan “raja-raja kecil” termasuk salah satu jabatan yang wewenangnya juga berpotensi untuk disalahgunakan. Aspek-aspek yang dapat disalahgunakan, antara lain: data pemilih, penggunaan dana desa, data penerima bansos, serta wewenang alokasi bansos itu sendiri.

         Demo Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia yang menuntut penambahan masa jabatan menjadi tiga periode, dana desa lima miliar, status perangkat desa, dan desa menjadi otoritas, dijadikan alat tukar dukungan politik paling menjanjikan. Belum lagi apabila membicarakan perjanjian politik antara pusat dan desa untuk tidak melanjutkan proses bermasalah yang dilakukan. Berdasarkan riset, sektor tindak pidana korupsi terbesar ada pada APBD desa. Maka menjadi tidak mengherankan apabila pada akhirnya, banyak kepala desa yang mendapat tekanan untuk memenangkan paslon tertentu atau calon legislatif tertentu karena tersandera kasus tipikor. Kepala desa sebagai raja-raja kecil di daerah dapat secara tiba-tiba diberikan teknis pembagian beras serta arahan penggunaan balai desa untuk deklarasi kemenangan paslon 02.

Ketidaknetralitasan Menteri

Kerusakan dan kecurangan yang terjadi begitu masif dan terstruktur. Tidak hanya di level desa sebagai entitas terbawah, tetapi juga di level atas. Zulkifli Hasan dan Airlangga Hartarto, contohnya, yang secara terang-terangan melakukan kampanye sekaligus mempolitisasi bansos untuk kepentingan elektoral semata.

Bantuan sosial yang seharusnya menjadi cara cepat untuk melaksanakan sila kelima Pancasila justru digunakan untuk mendulang suara dan menguntungkan paslon tertentu. Penyaluran yang seharusnya melalui Kementerian Sosial pada faktanya justru tidak demikian. Data kesejahteraan terpadu tidak digunakan. Bansos digunakan secara berlebihan, melebihi masa pandemi covid bahkan, gaji PNS, POLRI, TNI, TPPK yang naik di tahun politik semakin mengindikasikan banyaknya keganjalan.

Dalam film ini disebutkan berbagai pelanggaran syarat berkampanye yang dilakukan oleh menteri-menteri, mulai dari kampanye oleh menteri yang memang mencalonkan diri menjadi capres atau cawapres, menteri yang termasuk dalam tim kampanye, sampai menteri yang tidak terdaftar dalam tim kampanye, tetapi ikut serta dalam kegiatan kampanye. Berdasarkan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, diketahui bahwa syarat dalam melakukan kampanye adalah mengajukan cuti, serta tidak menggunakan fasilitas negara. Namun dalam praktiknya, tidak didapatkan informasi cuti dari Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut dua yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan, serta Mahfud MD calon wakil presiden nomor urut tiga yang menjabat sebagai Menko Polhukam. Terdapat juga pelanggaran yang telah dilakukan oleh capres nomor urut dua ini, yaitu menggunakan helikopter dan pesawat TNI AU dalam kegiatan kampanye. Tidak hanya itu, akun X dari kementerian pertahanan sempat mengunggah sebuah tweet bertagar #prabowogibran2024 yang telah dilaporkan, tapi sayangnya tidak bisa dilanjutkan. Pelanggaran-pelanggaran lainnya dilakukan oleh jajaran menteri yang berada maupun tidak berada dalam tim kampanye, salah satunya wakil menteri agraria yang memperlihatkan dukungan kepada salah satu pasangan calon, saat membagikan sertifikat kepada warga yang merupakan bagian dari wewenangnya sebagai wakil menteri. 

Keberpihakan Presiden

Ketidaknetralan presiden diduga menjadi salah satu alasan mengapa para menteri berani melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam kegiatan kampanye. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017, presiden diperbolehkan berkampanye, tetapi harus menaati syarat berupa mengajukan cuti, tidak memakai fasilitas negara, serta memperhatikan tugas negara dan pemerintahan, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan ataupun menguntungkan salah satu paslon. Sayangnya, dalam beberapa kesempatan, Presiden RI tidak menaati syarat-syarat tersebut. Hal ini terlihat dalam berbagai acara dimana Presiden RI yang masih aktif di posisinya, melakukan pertemuan dengan menteri-menteri yang tergabung dalam koalisi salah satu paslon, namun menteri lainnya, yang tidak tergabung dalam koalisi tersebut tidak mendapat perlakuan yang sama. Selanjutnya, terdapat video di mana Iriana Jokowi, terlihat mengacungkan tanda dukungan kepada salah satu paslon dari dalam mobil kepresidenan saat kunjungan Presiden RI ke Solo.

Bawaslu Inkompeten

Kemudian Feri Amsari menganggap Bawaslu kurang kompeten dalam menangani penyalahgunaan wewenang tersebut. Kasus akun X Kementerian Pertahanan yang melakukan kampanye terang-terangan merupakan salah satu buktinya, sebab Bawaslu tidak melanjutkan kasus ini dengan alasan kurang materiil, padahal materinya sudah jelas yaitu pemanfaatan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga negara. 

Integritas Bawaslu juga dipertanyakan karena Ketua Panitia Seleksi Bawaslu, Dr. Juri Ardiantoro diketahui merupakan tim sukses Jokowi pada pilpres tahun 2016 lalu, yang kemudian menjadi Tim Kampanye Nasional 2024 mengusung Prabowo Gibran. Selanjutnya, dalam film Dirty Vote ini juga diperlihatkan bukti tangkapan layar sebuah WAG yang menyebarkan daftar nama anggota Bawaslu yang lolos disandingkan dengan nama partainya. Padahal sebagai penyelenggara pemilu seharusnya mereka non-partisan.

Pelanggaran oleh KPU

Film ini juga memaparkan tentang kerja KPU dalam menyeleksi partai politik untuk lolos verifikasi. Berikut merupakan kasus-kasus pelanggaran yang terkait hal tersebut.

      a. Kasus Partai Gelora

Ditemukan dalam dokumen berita acara KPUD Murung Raya, Kalimantan Tengah yang menyatakan bahwa ada instruksi dari KPU untuk mengubah status Partai Gelora dari yang sebelumnya tidak memenuhi syarat, menjadi memenuhi syarat. Partai Gelora tidak memenuhi syarat terkait seribu orang berkartu anggota di kabupaten Murung Raya. Dari sampel uji petik yang dilakukan terhadap 114 kartu tanda anggota, Partai Gelora hanya memenuhi 85 orang yang terverifikasi mempunyai kartu tanda anggota, tetapi partai ini tetap dinyatakan lolos.

      b. Kasus pelanggaran etik tingkat individu

Ketua KPU dan ketua Partai Republik Satu, yang dijabat oleh seseorang yang dijuluki dengan wanita emas, sering bertemu secara pribadi. Dalam kasus ini sanksi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sudah dijatuhkan dalam bentuk peringatan keras terakhir.

      c. Kasus putusan Mahkamah Agung terkait tiga puluh persen keterwakilan perempuan

Dalam kasus ini, putusan Mahkamah Agung telah mengoreksi cara KPU menghitung tiga puluh persen keterwakilan perempuan, pendekatan KPU yang keliru membuat keterwakilan perempuan menjadi tidak maksimal. Namun kekeliruan ini tidak pernah dikoreksi oleh KPU secara langsung.

        d. Kasus napi koruptor

KPU tidak mematuhi peraturan KPU itu sendiri terkait pencalonan napi koruptor dengan ketentuan yang lebih spesifik. Terdapat daftar partai politik dan calon legislatif bekas koruptor pada 2024 yang tersebar di hampir semua partai yang berkontestasi di pemilu kali ini.

KPU dianggap tebang pilih dalam menjalankan putusan pengadilan, sebab putusan Mahkamah Agung soal keterwakilan perempuan dan calon legislatif bekas koruptor diabaikan. Namun putusan Mahkamah Konstitusi terkait Gibran langsung dijalankan dengan cepat. Ketika Gibran mendaftar, KPU belum membuat peraturan baru dan tidak merevisi aturan komisi pemilihan umumnya, tetapi pendaftaran Gibran langsung diterima dan buru-buru disahkan sebagai calon wakil presiden. 

Dari serangkaian pelanggaran etik secara kelembagaan maupun pribadi, terdapat catatan tiga sanksi yang telah dijatuhkan kepada Ketua KPU, Hasyim Asyari.

  1. Kasus wanita emas pada april 2023, sanksinya peringatan keras terakhir
  2. Kasus keterwakilan perempuan pada Oktober 2023, dengan sanksi peringatan keras
  3. Kasus pencalonan anak presiden pada Februari 2024, sanksi yang dijatuhkan adalah peringatan keras terakhir.

Lalu apa maksud dari sanksi peringatan keras ‘terakhir’ itu? Apakah setelah terakhir di bulan April 2023, masih ada terakhir di bulan Februari 2024?

Mahkamah Konstitusi sebagai Puncak Cerita

Berdasarkan cerita-cerita yang telah disampaikan sebelumnya, Bivitri Susanti menjabarkan beberapa hal yang menjadi alasan mengapa MK menjadi puncak. Pertama, Bivitri Susanti menyoroti kontradiksi MK dengan menggambarkan MK sebagai ‘pagar’ untuk memagari pencalonan presiden dan wakil presiden. Pada satu sisi, sudah sebanyak 31 kali syarat yang berupa ambang batas pencalonan presiden ditolak dengan berbagai alasan. Akan tetapi, di sisi lain, ketika terdapat satu syarat lain yang diminta untuk diubah, MK tiba-tiba membuka pintu secara lebar-lebar, hanya melalui satu permohonan saja. Poin selanjutnya yang dibahas adalah cara ‘instan’ mengubah UU tanpa DPR. Pada dasarnya, undang-undang seharusnya diubah oleh pembuat UU, sesuai Pasal 20 UUD 1945. Oleh karena itu, perubahan uu melalui MK disebut sebagai cara instan ubah UU tanpa DPR.

Bivitri Susanti lantas menambahkan poin terkait lainnya yang tidak boleh dilupakan. Berikut merupakan keseluruhan poin penting yang disorot : 

  1. Kontradiksi MK.
  2. Cara ‘instan’ ubah UU tanpa DPR.
  3. Konflik kepentingan.
  4. Pendapat hukum 9 hakim konstitusi.
  5. semua permohonan ditolak, kecuali satu dan sangat spesifik.
  6. Keputusan langsung berlaku, tidak ditunda untuk pemilu selanjutnya atau beberapa tahun berikutnya.
  7. Permohonan sempat dicabut, kemudian didaftarkan kembali di hari libur.
  8. MKMK menetapkan telah terdapat pelanggaran etik berat oleh ketua MK, tetapi bukan wewenang MKMK untuk membatalkan putusan, maka putusan tetap berlaku.
  9. Ketua MKMK berpotensi konflik kepentingan.
  10. Terdapat indikasi transaksi di balik konstitusi. Hal ini dilihat dari fakta bahwa pemohon menggugat Cawapres terkait wanprestasi.
  11. Ketua MK menggugat ke PTUN dan ingin jabatannya kembali.

Zainal Arifin dan Feri Amsari juga menceritakan pengalaman mereka pada hari ketika permohonan Almas Tsaqibirru disahkan yang dapat menggambarkan sebelas poin tersebut hingga media massa menyebut bahwa Gibran adalah anak haram konstitusi.

Menurut Feri Amsari, setiap peristiwa, bahkan kejahatan, bisa dibongkar dengan mengungkap siklus waktu. Oleh karena itu, tiga ahli tata negara yang membintangi film dokumenter ini lantas menjelaskan peristiwa-peristiwa berkaitan dengan diterimanya permohonan oleh Almas perlu dijabarkan pula.

Bermula pada tanggal 9 Maret 2023, PSI mengajukan permohonan pengujian UU Pemilu Pasal 169 huruf q mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang semula 40 tahun menjadi 35 tahun. Ketika permohonan tersebut berjalan, komposisi ketua PSI dirombak menjadi Kaesang, adik dari Gibran. Feri Amsari menambahkan catatan penting, “jika berbicara mengenai konflik kepentingan pada perkara ini, perlu diingat bahwa dalam pengujian UU, maka secara otomatis, termohon adalah pemerintah yang dipimpin oleh Joko Widodo, yaitu ayah Gibran.”

Pada tanggal 2 Mei 2023, Partai Garuda mengajukan permohonan terhadap MK dengan topik yang sama, tetapi ditambahkan alternatif berpengalaman sebagai penyelenggara negara. 

Lima kepala daerah juga mengusulkan persyaratan sebagai penyelenggara negara pada tanggal 5 Mei 2023. Baru kemudian pada 3 Agustus 2023, Almas Tsaqibbirru mengajukan permohonan untuk mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden menjadi minimal berpengalaman sebagai kepala daerah.

Beralih pada permohonan yang diajukan oleh PSI, Partai Garuda, dan lima kepala daerah yang disebutkan sebelumnya, pada tanggal 29 Agustus 2023, diadakan sidang terakhir untuk permohonan ketiga pihak tersebut. Pada 5 September 2023, diadakan pemeriksaan pendahuluan permohonan Almas. Kemudian, di tanggal 12 September, Almas mengajukan perbaikan permohonan menjadi berpengalaman sebagai kepala daerah, baik provinsi atau kabupaten/kota. 

Rapat permusyawaratan hakim pertama untuk permohonan PSI, Partai Garuda, dan lima kepala daerah digelar pada tanggal 19 September 2023. Pada tanggal 21 September 2023, diadakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pertama untuk permohonan yang diajukan oleh Almas. Pada tanggal 29 September 2023, Almas sempat mencabut permohonannya. Akan tetapi, permohonannya dimasukkan kembali di hari Sabtu, 30 September 2023. Hal ini dinilai janggal karena dilakukan di hari libur.

Zainal Arifin menambahkan bahwa seharusnya ketika pencabutan dilakukan, seharusnya penetapan dikeluarkan dibacakan pada sidang penetapan pencabutan perkara. Uniknya, pada kasus permohonan oleh Almas ini, hal tersebut tidak ada.

Tanggal demi tanggal terus bergulir hingga pada 3 Oktober 2023, MK mengadakan sidang konfirmasi permohonan Almas. Akan tetapi, sidang tersebut pada dasarnya tidak ada di hukum acara MK. Almas mengungkapkan bahwa ia tidak menginginkan untuk mencabut permohonan, melainkan hal tersebut adalah keinginan kuasa hukumnya.

RPH 2 diadakan pada tanggal 5 Oktober 2023, kemudian dilanjutkan dengan RPH 3 pada 9 Oktober 2023. Zainal Arifin berpendapat bahwa biasanya RPH yang diadakan berulang kali adalah tanda bahwa permohonan memang jelimet. Faktanya, alat bukti dalam kasus ini hanya KTP Almas, fotocopy Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dan dokumen UUD 1945. Seharusnya tidak ada logika argumentasi yang memadai untuk diperdebatkan secara hukum sehingga menarik apabila diadakan RPH tiga kali untuk membahas permohonan Almas.

Puncak dari siklus waktu yang dijabarkan terdapat pada 16 Oktober 2023 ketika diadakan sidang pengucapan putusan atau ketetapan terhadap permohonan yang diajukan oleh PSI, Partai Garuda, lima kepala daerah, dan Almas Tsaqibbirru. Pada pukul 11.45 WIB di hari itu, MK memberikan putusan bahwa permohonan oleh PSI ditolak. Berikutnya, pada pukul 12.29 WIB, permohonan Partai Garuda juga ditolak oleh MK. Putusan terakhir sebelum istirahat makan siang, yaitu tepatnya pukul 12.49, diberikan untuk permohonan oleh lima kepala daerah yang juga ditolak.

Setelah break makan siang, pada pukul 15.27, MK memberikan putusan untuk permohonan yang diajukan oleh Almas. Amar putusan menyatakan bahwa MK mengabulkan permohonan untuk sebagian.

Dengan dikabulkannya permohonan Almas, maka Gibran dapat mendaftar menjadi calon wakil presiden. Pada tanggal 25 Oktober 2023, pasangan Prabowo-Gibran mendaftarkan pencalonan mereka ke KPU. Film dokumenter ini kemudian menayangkan video momen ketika Prabowo Subianto dan Gibran yang sedang konvoi menuju KPU. Hal ini memberikan penegasan terhadap penonton bahwa rentetan peristiwa tadi pada akhirnya berujung pada ‘kesuksesan’ Gibran untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden.

Para ahli tata negara yang membintangi Dirty Vote kemudian mengajak penonton untuk menyoroti pula hakim MK yang terlibat dalam putusan tersebut. Zainal Arifin menggambarkan sidang pada hari itu menjadi dua gelombang, yaitu gelombang pra makan siang dan gelombang pasca makan siang. Maksud dari gelombang pra makan siang adalah sidang yang diadakan untuk permohonan oleh PSI, Partai Garuda, dan lima kepala daerah, sedangkan gelombang pasca makan siang adalah sidang yang memutus permohonan oleh Almas.

Pada gelombang pra makan siang, terdapat delapan hakim yang terlibat, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic, Manahan Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Arif Hidayat, dan Guntur Hamzah. Ketua MK, Anwar Usman, pada gelombang ini tidak terlibat dalam sidang demi menghindari konflik kepentingan. Di keterangan lain, dikatakan pula bahwa Anwar Usman tidak terlibat karena sakit. Seluruh hakim menolak untuk mengabulkan permohonan pada gelombang pertama, kecuali Guntur Hamzah.

Pasca makan siang, MK mengadakan sidang putusan untuk permohonan oleh Almas. Pada sidang tersebut, terdapat pergeseran hakim. Meski sebelumnya tidak terlibat dalam sidang untuk memutus permohonan dengan alasan yang telah disebutkan, Anwar Usman justru bergabung pada sidang yang digelar pasca makan siang ini. Terdapat tiga hakim yang menerima permohonan, yaitu Guntur Hamzah, Manahan Sitompul, dan Anwar Usman. Sementara itu, Saldi Isra, Arif Hidayat, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams tetap konsisten dengan putusan yang diberikan pada sidang-sidang sebelumnya, yaitu menolak permohonan. Selain dua putusan tersebut, terdapat ‘varian’ baru, yaitu concurring opinion yang diberikan oleh Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic.

Menurut Zainal Arifin, hal ini menarik untuk dibahas karena menimbulkan beberapa pertanyaan yang diungkapkannya, yaitu

  1. Mengapa Manahan Sitompul tiba-tiba bergabung dengan hakim yang mengabulkan permohonan? Jangan-jangan hal ini merupakan hasil lobi-lobi. Apalagi, dalam putusan MKMK, banyak dibahas pula bahwa ada hakim yang memasuki ruangan hakim lainnya.
  2. Anwar Usman yang tiba-tiba bergabung.
  3. Misteri pergeseran dua orang yang pada awalnya menolak. Enny Nurbaningsih menjelaskan cukup detail pada concurring opinion yang disampaikan. Hanya gubernur yang boleh diterima karena gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah sehingga seakan-akan gubernur ‘dekat; dengan pemerintah pusat. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic memilih untuk concurring, tetapi pada saat yang sama juga memilih untuk digabungkan di putusan mayoritas? Bivitri Susanti juga menambahkan bahwa jika kedua hakim tersebut lebih dekat dengan dissenting opinion, maka perbandingan suara hakim akan menjadi 6:3 dengan mayoritas adalah menolak permohonan.

Feri Amsari kemudian juga menjelaskan mengenai kejanggalan lain, yaitu permohonan Almas yang berbunyi “pernah menjadi kepala daerah” yang berarti jabatan kepala daerah tersebut harus sudah selesai, tiba-tiba di putusan, terdapat tambahan kata pernah atau sedang. Siapakah yang melakukan perubahan itu? Zainal Arifin menjawab bahwa hal itu tentu tidak diketahui oleh mereka. “Kita enggak tahu ya.” 

Topik percakapan kemudian beralih kembali pada hakim-hakim MK yang terlibat putusan permohonan Almas. Sebagai hakim yang konsisten selalu mengabulkan permohonan pada sidang-sidang tersebut, nama Guntur Hamzah disoroti. Guntur Hamzah merupakan hakim yang menggantikan hakim Aswanto. Penetapannya menjadi hakim dinilai melanggar konstitusi. Guntur Hamzah juga pernah melakukan perubahan pada putusan sehingga dijadikan sanksi etik. Sebelum dilantik menjadi hakim MK, Guntur Hamzah juga sempat menjadi sekretaris jenderal MK. 

Hal menarik lainnya yang dibahas adalah dissenting opinion yang disampaikan oleh keempat hakim MK dalam putusan permohonan oleh Almas. Seakan-akan dalam dissenting opinion tersebut, kebanyakan berisi ‘sumpah serapah’. Terdapat kemarahan dan kegundahan para hakim dalam dissenting opinion tersebut. Barang kali hal itu dapat menjelaskan mengapa putusan ini baunya ‘anyir’.

Tiga ahli tata negara yang membintangi Dirty Vote kemudian menyampaikan pendapat mereka sebagai pernyataan akhir sebelum film dokumenter ini berakhir.

“Semua rencana ini tidak didesain dalam semalam, juga tidak didesain sendirian. Sebagian besar rencana kecurangan yang terstruktur sistematis dan masif untuk mengakali pemilu ini sebenarnya disusun bersama dengan pihak-pihak lain. Mereka adalah kekuatan yang selama sepuluh tahun terakhir berkuasa bersama,” kata Feri Amsari, kemudian dilanjutkan oleh Zainal Arifin, “persaingan politik dan perebutan kekuasaan, desain kecurangan yang sudah disusun bareng-bareng ini akhirnya jatuh ke tangan satu pihak, yakni pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan di mana ia menggerakkan aparat dan anggaran.”

Bivitri Susanti lantas mengungkapkan pendapatnya untuk mengakhiri pembicaraan, “tapi sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah. Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua : mental culas dan tahan malu.”

Kalimat terakhir Bivitri tersebut tampaknya sukses membuat penonton terkesan sekaligus bergidik ngeri dan menyetujui perkataannya. 

Kontradiksi Presiden NKRI, Joko Widodo

Film dokumenter ini berakhir dengan ditayangkannya video-video ketika Jokowi berpidato maupun diwawancarai dari waktu yang berbeda-beda. Seiring video-video tersebut diputar di layar proyektor, Zainal Arifin, Feri Amsari, dan Bivitri meninggalkan ruang tempat mereka berbincang sebelumnya.

Sementara itu, video dimulai ketika Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI. Dalam pidatonya, Jokowi mengungkapkan ingin fokus bekerja mengurus masalah rumah susun, monorail, MRT, kesenjangan, maupun copet. Lantas, beralih ke video suatu liputan media yang menayangkan wawancara dengan Jokowi yang membicarakan mengenai pekerjaan anak-anaknya sebagai pedagang. “Silahkanlah mau terjun ke politik nggak tahu saya. Tanyakan saja ke anaknya langsung.”

Seolah menjawab hal tersebut, video selanjutnya menampilkan momen kampanye di mana massa meneriakkan nama Gibran. Tidak ketinggalan pula video penetapan pasangan walikota dan wakilnya dalam pilkada Kota Medan pada tahun 2020. Berikutnya, film dokumenter ini mengajak penonton menonton cuplikan wawancara dengan Jokowi yang mengatakan bahwa ia tidak ada niat dan minat untuk menjadi presiden tiga periode. 

Terakhir, sebagai pungkasan, ditayangkan potongan berita yang mengungkapkan bahwa jauh-jauh hari sebelum menjadi perdebatan berkepanjangan, Presiden Jokowi sudah memberi kode kuat soal cawe-cawe Pemilu 2024. “Saya tahu dalamnya partai seperti apa. Saya tahu, ingin mereka menuju ke mana. Saya juga ngerti. Info yang saya terima komplit dari intelijen saya ada BIN. Intel POLRI. Intel TNI dan info-info di luar itu. Angka, data, survey, semuanya ada.”

Melalui ditayangkannya video-video tersebut, penonton dapat menyimpulkan bahwa terdapat ‘kontradiksi’ antara apa yang diucapkan oleh Jokowi di beberapa masa yang lalu dengan yang terjadi belakangan ini. Terdapat keganjalan-keganjalan yang sayangnya justru dijadikan pelumrahan. Padahal semestinya, sebagai ajang rotasi kepemimpinan, pemilihan umum harus mampu menjanjikan proses demokrasi minim kontroversi. Sebab nantinya, siapapun yang terpilih, akan memegang tambuk kekuasaan dan pemerintahan, yang di tangannyalah kebijakan-kebijakan penentu hajat orang banyak dilahirkan. Proses yang koruptif akan melahirkan kepemimpinan yang koruptif pula.

Hari ini, mari kita menjadi warga negara yang wajib tahu baik buruknya pemegang mandat kedaulatan milik kita! https://youtu.be/RRgLZ66NCmE

Penulis: Layla Sabila Pelu, Wening Dian Pramesthi, Yasmin Salma Nuraidah

Penyunting: Muhammad Annas Nabil Fauzan

Leave a Reply

Your email address will not be published.