web analytics
Mengulik Pandangan Mahasiswa Fakultas Hukum UGM tentang Perlakuan Terhadap Kelompok LGBT

Mengulik Pandangan Mahasiswa Fakultas Hukum UGM tentang Perlakuan Terhadap Kelompok LGBT

LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) menjadi salah satu fakta sosial yang tidak pernah hilang eksistensinya di kalangan masyarakat Indonesia. Eksistensi LGBT banyak mendapat penolakan dari masyarakat. Salah satunya, permintaan dikriminalisasi pelaku LGBT secara keras melalui undang-undang oleh para pemuka agama. Namun demikian, tidak sedikit yang menganggap bahwa LGBT merupakan komunitas yang perlu dilindungi karena banyaknya perlakuan diskriminasi yang membuat mereka kehilangan hak asasi sebagai seorang manusia.

 

Lantas, bagaimana pandangan mahasiswa hukum mengenai hal ini? Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh tim liputan BPPM Mahkamah terhadap beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), banyak yang beranggapan bahwa LGBT merupakan sebuah penyimpangan sosial yang dapat melanggar nilai-nilai agama dan sosial yang berlaku di masyarakat. Penyimpangan tersebut berupa orientasi seksual yang tidak dapat diterima dalam kehidupan masyarakat. “Orientasi seksual setiap orang merupakan suatu hal privat. Namun, memandang histori dan kultur di Indonesia yang mengadaptasi kebudayaan timur, hal tersebut tentunya dianggap sebagai penyimpangan,” ucap NA, salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum (FH) UGM. 

 

Selain itu, terdapat juga beberapa mahasiswa yang menyatakan bahwa mereka menerima perbedaan. Mereka tidak mempermasalahkan kehadiran LGBT. “Karena mereka tetaplah human being, dan orientasi seksual juga banyak macamnya. Selama tetap melakukan kewajibannya sebagai warga negara dan tidak mengganggu kepentingan orang lain, mereka seharusnya tetap dihormati dan diberikan hak-haknya,” demikian ucap AF. Akan tetapi, permasalahannya adalah ketika komunitas LGBT mengkomersilkan penyimpangan tersebut yang dikhawatirkan perilaku LGBT dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam kehidupan masyarakat. 

 

Kehadiran LGBT membawa Penyakit Menular Seksual (PMS) yang semakin mudah menyebar dan sulit dikendalikan. Bahkan, anggapan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara tidak mengakui adanya LGBT. Namun, tidak sedikit yang berpendapat bahwa LGBT seharusnya tetap memperoleh hak asasi nya sebagai seorang manusia, yang tidak sepantasnya mendapat diskriminasi karena perbedaan orientasi seksual. Tidak jarang perbedaan orientasi seksual ini dianggap sebagai sebuah kesalahan yang sangat sulit dimaafkan, bahkan pelaku dianggap seperti telah melakukan kejahatan yang keji. Padahal, banyak faktor yang menyebabkan fenomena ini muncul, tidak jarang dari lingkup yang terkecil, yakni keluarga. Trauma masa kecil, kurangnya afeksi dari figur seorang ayah, perlakuan selayaknya anak perempuan, bahkan korban kejahatan seksual menjadi beberapa faktor yang mendorong LGBT kian menjamur di negeri ini. 

 

Savero, salah seorang narasumber yang merupakan lulusan FH UGM, memberikan pandangan yang berbeda mengenai komunitas  LGBT. Menurutnya, sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap LGBT adalah sebuah penyimpangan. Akan tetapi, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa sebenarnya yang disebut sebagai penyimpangan adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Savero menyampaikan pendapatnya mengenai gerakan anti-LGBT. Sebagaimana telah dikutip dalam skripsinya, ia berpedoman pada jurnalis Andreas Harsono. Dijelaskan bahwa gerakan anti-LGBT di Indonesia sebenarnya dimulai oleh beberapa kelompok islam militan yang pada akhirnya mengubah pandangan masyarakat Indonesia menjadi lebih buruk terhadap komunitas LGBT. 

 

Savero kemudian menambahkan bahwa pandangan tersebut muncul dari bagaimana konstruksi sosial itu terbentuk. Savero menjelaskan bahwa masyarakat yang homophobic lahir dari pemikiran dan konstruksi sosial yang homophobic atau anti-LGBT juga. Pemikiran ini pada awalnya juga berkembang dari pandangan heteronormatif mengenai teori manusia purba yang selalu membutuhkan regenerasi untuk mempertahankan kelompok dan melanjutkan keturunannya. Sampai sekarang, sebagian besar kelompok masyarakat Indonesia membentuk pemikiran yang menganggap kaum heteroseksual adalah satu-satunya kelompok masyarakat yang diterima untuk menjaga populasi di dunia. Namun, perlu ditegaskan bahwa permasalahan ini juga bersinggungan dengan hak asasi yang sudah melekat pada diri setiap manusia.

 

Dari segi normatif, ayat 1 Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: 

 

Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Kemudian ayat 2 Pasal a quo menyatakan bahwa:

 

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

 

Pasal tersebut menjadi salah satu landasan bagi komunitas LGBT untuk menyuarakan pendapat mereka agar mendapat hak asasi yang sama. Dalam artian, kaum LGBT meminta kepada masyarakat agar mereka diakui dan dapat berinteraksi dengan masyarakat sebagaimana mestinya. Namun, kebebasan berpendapat mereka dibatasi oleh hukum yang menyatakan bahwa kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.  

Dalam hukum positif di Indonesia sendiri legalitas LGBT tidak ada, tetapi aturan hubungan sesama jenis diatur dalam Pasal 292 KUHP yang menyatakan bahwa:

“Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”

 

Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa jerat pidana bagi perilaku homoseksual memang ada, apabila pelaku orang dewasa dengan korban di bawah umur yang berjenis kelamin sama, serta diikuti perbuatan cabul. Namun, apabila pelaku sekedar memiliki ketertarikan satu sama lain maka keduanya tidak dapat dipidana.

 

Dari sudut pandang mahasiswa FH UGM yang menganggap LGBT merupakan sebuah penyimpangan, solusi yang mereka tawarkan adalah dengan memperlakukan seseorang sesuai dengan kodratnya. Tidak lantas mendiskriminasi seseorang yang cenderung mengarah ke perilaku LGBT. Pemerintah juga harus peduli terhadap korban-korban kekerasan seksual dengan memberikan pengobatan dan pendampingan yang mudah terjangkau agar hak-haknya dapat terpenuhi. 

 

Di sisi lain, kelompok yang menganggap LGBT bukanlah sebuah penyimpangan adalah dengan mengajak masyarakat menyadari bahwa adanya keberagaman gender dan orientasi seksual yang berbeda pada diri manusia. Mulai dari lingkup terkecil, seperti lingkaran keluarga, diharapkan dapat memahami adanya keberagaman gender dan seksualitas. 

 

Masyarakat diharapkan dapat menerima setiap orang yang memiliki latar belakang dan identitas yang berbeda-beda.  Hal-hal tersebut tidak dapat dipaksakan dengan konstruksi sosial yang melekat dalam kehidupan masyarakat, serta perlindungan HAM bagi komunitas LGBT. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah sebagai aktor utama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (dalam konsepsi welfare state) harus terlibat aktif, lebih dari sekedar bertindak dengan “menghukum” khususnya dari segi hukum.

 

Reporter: Muhammad Yusuf Aryotejo, Regina Ayu Amara Devi

Penulis: Muhammad Yusuf Aryotejo, Regina Ayu Amara Devi

Penyunting: Alvin Danu, Syahrico, dan Erika

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.