web analytics
RUU Cipta Kerja: State Capture dan Sentralisasi Kekuasaan

RUU Cipta Kerja: State Capture dan Sentralisasi Kekuasaan

BPPM Mahkamah — Senin siang (13/07), Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM menggelar serial diskusi anti korupsi (diksi) daring ke-6 dengan tajuk “RUU Cipta Kerja: State Capture dan Sentralisasi Kekuasaan”. Diskusi daring tersebut memfokuskan pembahasan pada sengkarut permasalahan yang mencuat dalam proses perumusan rancangan undang-undang cipta kerja (RUU Ciker) ditinjau dari perspektif agraria dan tata ruang, sumber daya alam, hukum pidana, serta hukum tata negara. 

Kegiatan diskusi yang berlangsung selama 120 menit tersebut menghadirkan empat pembicara, di antaranya Advokat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rakhma Mary, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati, Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah, dan Dosen Hukum Tata Negara  FH UGM sekaligus peneliti PUKAT UGM Zainal Arifin Mochtar. 

Siti mengawali dengan menguraikan permasalahan  dalam tubuh RUU Cipta Kerja dalam perspektif agraria dan tata ruang. Ia menuturkan bahwa substansi yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja telah secara jelas menabrak berbagai peraturan yang ada dalam norma hukum positif Indonesia. Siti kemudian memaparkan bahwa dalam RUU tersebut tercium gelagat pemerintah yang seakan berhasrat menjadikan objek tanah sebagai komoditas untuk dikomersilkan. 

Ketentuan perihal Bank Tanah dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja, dinilainya sangat menguntungkan beberapa pihak yang berkepentingan. “Supaya pengusaha tidak galau soal pengadaan tanah, maka akan disediakanlah tanah dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan pembentukan Bank Tanah dan KEK,” ungkap Siti. 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa RUU Cipta Kerja juga lekat dengan nuansa sentralisasi pada pengambilalihan kewenangan yang sebelumnya didapuk tiap-tiap pemerintahan daerah. Siti mengakhiri pemaparannya dengan menambahkan bahwa RUU a quo kelak akan menimbulkan berbagai macam permasalahan, seperti memperlebar gap kemiskinan, menyuburkan perbudakan buruh, menyebabkan kerusakan lingkungan, serta menyulut pelanggaran hukum dan HAM.

Adapun Nur melanjutkan dengan membahas RUU Cipta Kerja dalam perspektif sumber daya alam. Ia menerangkan bahwa prinsip-prinsip good environmental governance dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dihilangkan dalam RUU tersebut. Nur kemudian menjelaskan bahwa akar permasalahan dalam sektor pengelolaan yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja, salah satunya bersumber pertumbuhan ekonomi yang beresensi melikuidasikan alam. “Sumber-sumber kekayaan alam kemudian dieksploitasi dan dijadikan sumber-sumber finansial, sehingga pencemaran lingkungan hidup dan pengurasan sumber daya alam melaju sangat tinggi,” urainya. 

Nur kemudian menyoroti permasalahan yang terdapat dalam omnibus law RUU Cipta Kerja ini dengan adanya upaya untuk mempersubur korupsi di bidang sumber daya alam. Ia menyebut bahwa korupsi yang terjadi dalam ranah sumber daya alam lebih erat dengan pengertian korupsi struktural yang mendasarkannya pada kegagalan penciptaan sistem regulasi, administrasi, dan birokrasi. Ia menutup pemaparannya dengan menyatakan bahwa corak sentralisasi yang termuat dalam RUU Cipta Kerja akan memperbesar lubang dalam celah-celah korupsi. Dengan lugas ia mengatakan bahwa bergesernya pendulum pengambilan kewenangan menuju sentralistik, dapat menghidupkan kembali nuansa rezim orde baru yang absolut dan koruptif.    

Selanjutnya, Herdiansyah menyambung dengan fokus mengkritisi RUU Cipta Kerja dalam perspektif pidana korupsi. Ia mengaitkan carut marutnya proses penyusunan RUU Cipta Kerja dalam kesamaannya dengan Revisi Undang-Undang KPK yang telah disahkan dan masuk ke dalam lembaran negara. Beberapa kesamaan tersebut mencakup beberapa aspek, antara lain penyanderaan negara (state capture) oleh para oligarki, nir-partisipasi, anti kritik, serta represifitas. Ia juga menambahkan bahwa RUU Cipta Kerja secara serasi melemahkan spirit pemberantasan korupsi dengan pemberian hak imunitas bagi para pengurus dan pengelola lembaga investasi yang mulanya dapat dituntut secara pidana maupun perdata dalam menjalankan tugas. 

Herdiansyah kemudian menyebut bahwa state capture secara konkret dimanifestasikan melalui adanya serangkaian kasus korupsi yang dewasa ini tengah menggerayangi tubuh parlemen. “Korupsi saat ini tidak dilakukan secara konvensional, tapi dengan menyogok pejabat publik atau menguasai alat-alat negara untuk memuluskan tujuannya,” tuturnya.  Lebih lanjut ia menganalisa bahwa dalang yang berada di balik panggung korupsi dalam tubuh parlemen adalah para oligarki yang memegang kendali kebijakan di lembaga-lembaga negara menggunakan kemampuan finansialnya. Ia kemudian mengkorelasikan hasil analisanya dengan komposisi kursi parlemen yang saat ini didominasi oleh para pengusaha.

Acara diskusi dipamungkaskan dengan pemaparan Zainal yang membahas arah gerak sentralisasi dalam RUU cipta kerja dengan sudut pandang hukum tata negara. Dalam pemaparannya, ia menyatakan bahwa state capture hanyalah salah satu modus yang dipergunakan para oligarki untuk menguasai negara. Zainal kemudian memaparkan analisisnya bahwa para oligarki yang ada di Indonesia, secara nyata telah menyaru ke dalam pusaran kekuasaan negara. Hal ini kemudian dijelaskannya sebagai salah satu objek yang turut mengacaukan tatanan sistem politik hukum di Indonesia. 

Zainal kemudian mengaitkan pembahasannya dengan upaya negara untuk menarik kembali kuasa menuju ke arah pusat yang dinilai terlihat sangat nampak dalam substansi RUU Cipta Kerja. Ia menuturkan bahwa pembentuk RUU Cipta Kerja cukup lihai dalam menerapkan doktrin teori klasik dalam sistem negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial untuk dapat memperluas kewenangan presiden. 

Sebagai penutup, Zainal berpesan kepada masyarakat untuk waspada dengan gejala otoritarianisme yang dapat tumbuh kembali dalam besarnya kewenangan pusat. Kewenangan ini berada dalam presidensialisme yang disertai dengan dukungan penuh oleh parlemen. “Tentu yang harus menjadi kepentingan kita bersama, adalah untuk membentengi negara dari kemungkinan berderap ke arah otoritarianisme,” pungkasnya.

Penulis: Akmal Prantiaji
Editor: Athena Huberta

Leave a Reply

Your email address will not be published.