web analytics
Dilema dan Tantangan Pilkada Serentak di Tengah Pandemi Covid-19

Dilema dan Tantangan Pilkada Serentak di Tengah Pandemi Covid-19

BPPM Mahkamah — Pada 4 Juli 2020, Forum Masyarakat Hukum (FORHUM) menyelenggarakan sebuah Webinar Nasional bertajuk “Nasib Pelaksanaan Pilkada Serentak di Tengah Pandemik Covid-19”. Kegiatan yang dilaksanakan via aplikasi Zoom tersebut menghadirkan beberapa pembicara yakni, Oce Madril yang merupakan Dosen Fakultas Hukum (FH) sekaligus Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Hamdan Kurniawan selaku Ketua KPU DIY, Yahya Ahmad Zein selaku Dekan FH Universitas Borneo Tarakan, Teguh Iman Sationo yang merupakan Dosen FH Universitas Widya Mataram, juga Amin Zakaria sebagai advokat dan praktisi politik. Selain disajikan melalui media Zoom, Webinar Nasional ini juga disiarkan secara langsung melalui Kanal Youtube Ricco Yubaidi yang juga berperan sebagai moderator pada kegiatan tersebut.

Diikuti oleh ratusan peserta, Teguh Iman Sationo memulai dengan pertanyaan terkait mengapa pilkada serentak pada akhirnya dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020. “Ini kan jatuhnya keputusan politik. Kenapa kemudian dipilih lebih cepat? Kenapa tanggal 9? Kenapa tidak yang lain? Padahal Covid ini juga strength-nya masih tinggi,” ujarnya. Sebelumnya, dalam rapat kerja yang terdiri dari unsur KPU, DPR, dan Pemerintah, terdapat tiga opsi waktu yang ditawarkan KPU, di antaranya adalah Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021. Teguh menilai dalam situasi darurat di tahun politik ini, agenda pemilihan kepala daerah akan dihadapkan dengan banyak masalah, terutama pada pihak penyelenggara, mulai dari waktu penyelenggaraan hingga anggaran yang membengkak.

Penetapan pelaksanaan pilkada serentak sendiri berpondasi pada Perppu No. 2 tahun 2020, di mana mekanisme lebih spesifiknya diatur dalam Pasal 120, penambahan Pasal 122a, serta penambahan Pasal 202a. Pada peraturan tersebut diterangkan bahwa mekanisme pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan dilaksanakan sebagai akibat dari terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana non alam, maupun gangguan lainnya yang dapat mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan. Penetapan pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan ini, menaikkan isu prioritas kebijakan ke permukaan.

Dalam keadaan darurat, baik kesehatan masyarakat maupun bencana non alam, Oce Madril mengamini perlunya sense yang sama, yaitu sense of crisis juga sense of emergency. Kemudian, ia mempertanyakan apakah benar sense tersebut dirasakan dengan sama. “Jika melihat kebijakan-kebijakan pemerintah mungkin sense itu tidak kelihatan, di ekonomi mungkin iya. Tetapi, jika kita lihat dengan adanya kebijakan pilkada boleh jadi secara politik jangan-jangan kita merasa tidak ada kedaruratan,” paparnya. Lebih lanjut, ia melemparkan pertanyaan mengenai manakah prioritas kebijakan publik saat ini. “Ini yang mana sebenarnya yang akan kita prioritaskan? Apakah kita akan memprioritaskan penanganan atau penyelesaian soal darurat kesehatan masyarakat bencana non alam atau kita akan memprioritaskan hal-hal yang itu sifatnya pemerintahan atau sifatnya politik,” imbuhnya.

Persoalan ini melahirkan pertanyaan lain mengenai dilema antara hak politik dan kesehatan. Menanggapi hal tersebut, Teguh memaparkan bahwa keduanya memiliki kedudukan yang seimbang, terlebih dalam masa pandemi seperti ini, tidak ada yang boleh dikesampingkan. “Berkaitan dengan HAM pemerintah harus melakukan to protect, to fullfill, to respect, ketiganya harus beriringan,” ungkapnya. Meski ia secara tegas mendukung penetapan pilkada serentak ditunda lebih lama, tetapi karena telah ada keputusan yang ditetapkan maka pelaksanaan pemilihan harus dilakukan dengan protokol kesehatan yang ada.

Dari sudut penyelenggara, Hamdan mengejawantahkan adanya dua perkara yang menjadi fokus KPU secara menyeluruh. Pertama adalah bagaimana KPU bisa menyelenggarakan pemilihan secara demokratis, profesional, dan bertanggung jawab. Kedua, KPU harus menghitung, mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh aspek keselamatan dan kesehatan di situasi kondisi pandemi Covid-19. Hal tersebut mengingat bahwa agenda pilkada kali ini akan melibatkan banyak stakeholder, di mana dalam data sementara tercatat ada 105 juta pemilih dari 270 daerah yang melaksanakan. 

Hamdan mengaku telah ada upaya-upaya yang dilakukan KPU sehubungan dengan dua hal tersebut. Di antaranya, yang pertama adalah inisiatif penundaan sebagian tahapan dari KPU dimulai sejak 21 Maret 2020 melalui Keputusan KPU Nomor 179. Upaya ini meliputi penundaan atas empat tahapan pemilihan, yakni pelantikan dan masa kerja PPS, verifikasi faktual calon perseorangan, pembentukan PPDP, dan kegiatan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Kedua, KPU kini sedang berproses mempersiapkan regulasi khusus mengenai bagaimana penyelenggaraan pemilihan di tengah pandemi termasuk penerapan protokol kesehatan Covid-19. Ia menjabarkan, KPU memiliki Peraturan KPU (PKPU) No. 5 tahun 2020 mengenai tahapan yang mengatur kembali pemilihan karena bergeser 3 bulan. Di samping itu, KPU juga tengah menunggu finalisasi pengundangan PKPU tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam keadaan bencana non alam. “Ada beberapa keputusan KPU maupun Surat Edaran KPU yang dilaksanakan untuk mengatur bagaimana tahapan-tahapan itu dilaksanakan,” terangnya.

Selain itu, Hamdan juga menyebutkan upaya KPU dalam melakukan strategi mitigasi dengan menerapkan protokol kesehatan yang disiplin dan ketat, seperti dalam hal APD, prosedur, dan lain-lain. Ia menjelaskan pula bahwa sistem pemilihan elektronik belum bisa dipilih untuk penyelenggaraan pemilihan serentak. Namun, sistem informasi dapat dimanfaatkan dalam tahap rekapitulasi suara, yang menurutnya bisa menjadi batu loncatan kala pemilu 2024 nanti.

Regulasi tersebut menjadi sorotan Yahya Ahmad Zein yang turut menyusun komponen instrumen guna menentukan nasib pilkada di masa pandemi ini. Instrumen tersebut di antaranya yakni regulasi, anggaran, pelaksana, kontestan/peserta pilkada, psikologis kesiapan masyarakat, sistem informasi, dan kampanye.

Yahya menilai persoalan regulasi ini sebenarnya sudah sangat terlambat. Ia menyebut adanya surat edaran yang menjadi pegangan saat ini bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum. “Kalau kita baca surat edaran itu, substansi materinya itu sama dengan PKPU, karena saya tahu persis, kemungkinan surat edaran itu lahir untuk mengisi kekosongan hukum,” tandasnya. Menurutnya keberadaan surat edaran atas PKPU tersebut menjadi seperti “tambal sulam” dan sangat riskan, dimana sebagai ‘orang hukum’ pasti mengerti seberapa kapasitas surat edaran. Permasalahan tersebut diamini oleh Amin Zakaria, “bisa jadi ada sebuah permasalahan hukum yang dilihat dari aspek kedudukan Surat Edaran itu sendiri, yang akan menimbulkan satu bentuk risiko konflik,” urainya.

Adapun dalam pelaksanaan pilkada, akan dijumpai berbagai tantangan, baik teknis maupun non teknis.  Yahya menguraikan permasalahan teknis secara umum yang berpotensi lebih sulit dihadapi, di antaranya adalah ketepatan daftar pemilih tetap, distribusi logistik, ketepatan sistem informasi, anggaran yang cukup, kapasitas penyelenggara Ad Hoc, dan hasil pemungutan perhitungan suara. Sementara dari sisi non teknis, terdapat partisipasi pemilih, money politics, kampanye hitam, saling serang media sosial, penggunaan fasilitas negara, kepercayaan publik yang rendah, juga pemahaman terhadap standar protokol kesehatan.

Para narasumber pun menyepakati akan adanya pembengkakan di situasi yang tidak normal ini. Hamdan menyatakan bahwa salah satu penyebab membengkaknya anggaran yakni dikarenakan dalam UU Pilkada diatur jumlah pemilih maksimal pada satu TPS adalah sebanyak 800 orang. Mengingat tingginya angka tersebut, sebagai tindakan preventif, KPU memetakan kembali menjadi 500 orang pada tiap TPS. Hal tersebut berdampak pada menambahnya jumlah TPS sehingga biaya akan membengkak untuk keperluan APD, dan lain-lain.

Di sisi lain, Oce Madril menyoroti adanya risiko dari sisi perspektif anti korupsi. Menurutnya, Perppu No. 1 tahun 2020 memang membuka ruang agar bisa dilakukan pergeseran realokasi anggaran. Salah satu anggarannya adalah mengenai pelaksanaan pilkada dengan berbagai macam variasi anggaran, pun yang sifatnya fasilitas dari pemerintah. Ia menilai meski hal ini sebenarnya ada di setiap momentum pilkada, namun dalam keadaan darurat risikonya menjadi lebih tinggi.

Sementara dalam hal money politics, Oce beranggapan bahwa pilkada di masa pandemi ini akan menimbulkan unfair competition antara petahana dengan penantangnya. Meski gap antara dua jenis peserta tersebut telah ada sejak dulu, namun kini jaraknya bisa menjadi lebih besar. “Tetapi kemudian karena ada realokasi anggaran diperbesar, bansos diperluas, maka ‘fasilitas-fasilitas’ yang akan diperoleh petahana dalam mengambil keuntungan politik, boleh jadi gapnya menjadi lebih besar ketika pilkada,” tandasnya. Menurutnya, hal ini akan menjadi dilematis mengingat bansos diperlukan pada saat situasi darurat, tetapi terdapat kekhawatiran bahwa bansos akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Sebagai penutup, Yahya Ahmad Zein menggambarkan pemilu di tengah Covid-19 ini ibarat suatu rel kereta. Ia menuturkan bahwa harus ada komunikasi yang baik antara tiga komponen, yaitu penyelenggara, peserta, dan masyarakat. Sebagai analogi, hal ini dilakukan agar komponen-komponen tersebut tidak berada di rel yang berbeda dalam proses pelaksanaan pemilu sehingga Covid-19 tidak lagi jadi momok yang mengganggu berlangsungnya pesta demokrasi kelak.


Penulis: Athena Huberta
Editor: Rieska Ayu
Sumber foto: banwaslu.go.id, IG @forhum_official

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *