web analytics
Di Balik Aksi Mahasiswa Menolak Omnibus Law Cipta Kerja 

Di Balik Aksi Mahasiswa Menolak Omnibus Law Cipta Kerja 

Setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 5 Oktober 2020, aksi unjuk rasa dan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Kerja muncul di berbagai daerah di Indonesia. Selain serikat pekerja dan buruh yang merupakan kelompok paling terdampak, massa aksi juga muncul dari kalangan mahasiswa. Pandangan publik terhadap aksi mahasiswa menolak Omnibus Law pun bermacam-macam. Sebagian pihak mendukung penuh aksi demonstrasi mahasiswa, melihatnya sebagai bentuk manifestasi suara-suara dan keresahan rakyat yang sudah sepatutnya terus dikobarkan. Sebagian lagi memandang aksi tersebut hanya sebagai ‘sok-idealis’nya mahasiswa, bahkan ada yang mencerca aksi tersebut hanya berdasar pada disinformasi dan hoaks tanpa membaca keseluruhan isi draft undang-undangnya. Lantas, bagaimana sebenarnya mahasiswa memandang Omnibus Law Cipta Kerja ini? 

Dzaki Aribawa, anggota Departemen Aksi dan Propaganda Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia FH UGM, berpendapat bahwa Omnibus Law sebenarnya berangkat dari satu tujuan yang positif, yaitu untuk kemajuan ekonomi dan bertumbuhnya investasi. Dzaki menuturkan, “Kita bisa sepakat dengan narasi besarnya, tetapi tidak bisa bersepakat mengenai faktor-faktor yang harus dikorbankan, misalnya mengenai perlindungan ketenagakerjaan dan perlindungan lingkungan.” Mahdi Yahya, Kepala Departemen Aksi dan Propaganda Dema Justicia FH UGM, menambahkan, dalam rangka mencapai tujuan awal dari Omnibus Law, banyak hal yang kurang berpihak pada rakyat yang kemudian menjadi alasan bagi mahasiswa untuk menolak tegas undang-undang ini.

Mengenai dasar dari aksi protes besar-besaran yang dilakukan mahasiswa, Mahdi mengatakan, adalah hak konstitusional setiap warga negara untuk melakukan protes apabila dirasa ada pasal-pasal yang merugikan rakyat. “Satu pasal saja yang bermasalah, sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan protes,” katanya. Ia menambahkan, “Jangankan kami, anggota DPR yang mengesahkan saja mengaku belum membaca keseluruhan draft-nya.” Sepakat dengan hal tersebut, Dzaki mengatakan bahwa aksi demonstrasi mahasiswa ini bukan tanpa dasar. “Sudah banyak kajian-kajian yang dilakukan, termasuk dari teman-teman Dewan Mahasiswa Justicia. Bahkan FH UGM secara kelembagaan dengan tegas menolak UU Cipta Kerja. Hal itulah yang kemudian menjadi bahan bakar untuk mengawali gerakan mahasiswa ini,” jelasnya. 

Dari hasil kajian dan catatan kritis yang ada, baik oleh Dewan Mahasiswa Justicia maupun Dekanat FH UGM, terdapat beberapa hal yang disoroti sebagai ‘kecacatan’ dalam Omnibus Law Cipta Kerja ini. Mahdi menjelaskan, kecacatan pertama adalah proses pembentukannya yang dinilai tidak sesuai prosedur. “Dari sisi formil saja sudah bermasalah, bahwa ada pelanggaran terhadap asas keterbukaan dan asas partisipasi publik di sana,” ucapnya. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa sejak awal, pemerintah dan DPR terkesan menutup-nutupi isi undang-undang tersebut. Selain itu, publik tidak pernah dilibatkan dalam proses pembentukannya. “Seharusnya pemerintah dan DPR berinisiatif membuka dan menerima aspirasi publik, tapi yang terjadi justru sebaliknya,” sambungnya.

Dari segi materil, banyak poin-poin yang juga menjadi sorotan, salah satunya dari klaster lingkungan. Mengutip pendapat para ahli hukum, Mahdi menjelaskan bahwa undang-undang ini berpotensi mereduksi semangat perlindungan lingkungan. “UU Cipta Kerja ini membuat pengelolaan lingkungan diarahkan menjadi sesuatu yang ekstraktif dan tidak mencerminkan pengelolaan yang berkelanjutan,” tuturnya.  Dzaki menambahkan satu contoh dari klaster ketenagakerjaan, bahwa banyak hak-hak buruh dan pekerja yang dirampas demi kepentingan investasi. “Banyak kajian sudah dilakukan oleh akademisi yang menjelaskan rentannya hak-hak buruh dan pekerja apabila undang-undang ini disahkan,” jelasnya.

Tentang klaim hoaks yang dikeluarkan pemerintah atas informasi mengenai substansi UU Cipta Kerja yang beredar di sosial media, Mahdi berpendapat bahwa hal tersebut kemungkinan adalah kerja sistematis dari pemerintah untuk meng-counter narasi-narasi yang dibangun publik di media sosial yang bertujuan untuk meredam protes masyarakat. “Sangat tidak elegan bagi pemerintah melakukan klaim hoaks untuk menanggapi isu yang beredar,” ujar Mahdi. Dzaki Aribawa menambahkan, bahwa narasi-narasi hoaks itu bisa jadi digunakan sebagai sarana bagi yang berkepentingan untuk mendiskreditkan gerakan penolakan.

Menanggapi aksi mahasiswa yang dipandang hanya berdasarkan disinformasi semata, Mahdi mengajak Pemerintah untuk membuka ruang diskusi. “Makanya, Pemerintah, ayo kita duduk bareng, baca bareng, biar tau mana yang hoaks, mana fakta. Setiap tuntutan kami ada kajian-kajiannya, kok. Silakan dibaca juga kajiannya,” katanya menegaskan.

Selain memberikan klaim hoaks, pada tanggal 6 dan 7 Oktober 2020, DPR-RI melalui platform media sosial instagram juga memberikan penjelasan dan klarifikasi terkait pasal-pasal yang diresahkan serikat buruh dan pekerja, seperti tentang uang pesangon, UMK yang dihapus, ketentuan PHK, waktu kerja, dan outsourcing. Menanggapi hal ini, Dzaki mengingatkan kemungkinan adanya politik kepentingan dalam klarifikasi tersebut. “Kalau yang memberikan klarifikasi itu badan yang mengeluarkan produk tersebut, perlu dilihat juga tendensinya ke arah mana,” katanya. Dalam hal ini, Dzaki berpendapat bahwa gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil sebaiknya lebih berpegang pada keberpihakan kaum intelektual dan akademisi yang memang memiliki pengetahuan dan kemampuan ahli di bidang tersebut dengan tanpa kepentingan apapun. 

Begitu pula tentang klarifikasi yang diberikan Presiden Joko Widodo terkait UU Cipta Kerja tanggal 9 Agustus 2020, Dzaki dan Mahdi bersepakat untuk tidak melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang harus dipertimbangkan. “Dari DPR sendiri masih simpang siur dan beberapa kali mengganti draft undang-undangnya, lantas atas dasar apa Presiden mengeluarkan klarifikasi?” tegas keduanya. Sampai hari ini, kelompok mahasiswa masih mempertahankan sikapnya untuk menolak Omnibus Law Cipta Kerja.

Menyibak Rupa-Rupa Impresi akan Isu Pergerakan yang Eksesif

Pergerakan mahasiswa dalam serangkaian penolakan UU Cipta Kerja turut memikat kerlingan publik. Aksi megah yang ditunggangi kepentingan rakyat seolah mampu menyihir kahanan negeri menjadi suatu medan pertempuran. Namun, dalam kaca mata Dzaki, aksi pergerakan bukanlah hal yang perlu diglorifikasi. Sebab gerakan mahasiswa akan terus abadi mengiringi pesakitan yang diterima oleh rakyat yang merugi. Urgensinya tidak akan pernah sirna selama pihak-pihak yang ditindas adalah rakyat. Menyorot dari sudut pandang lain, Mahdi percaya jika penolakan UU Cipta Kerja menjadi penting untuk digemakan sebab sejarah telah mencatat kisah kelam akan kepedulian pemerintah terhadap derita masyarakat. 

Jika kita berkenan memutar kembali memori setahun silam, tragedi serupa telah menimpa RUU KPK. Gaungan suara penolakan dengan tagar reformasi dikorupsi menjadi aksi raksasa tanpa buah yang terasa. Hanya letih yang kemudian didapatkan sebagai suatu imbalan. Aksi-aksi damai telah puluhan kali digelorakan, namun rasanya tak sekali pun pemerintah berkeinginan untuk mendengarkan. Memasifkan gerakan penolakan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi krusial mengingat karakter pemerintahan saat ini cukup otoriter dalam menerima kritikan publik. Menurut Mahdi, cara terbaik yang bisa dilakukan mahasiswa ialah dengan memasifkan pergerakan dan juga menjaga konsistensi. 

Di sisi lain, Dzaki percaya, suatu gerakan itu tidak pernah lepas dari adanya sebuah momentum, dan momentum bukanlah hal yang mudah untuk dijumpai. Untuk menjaga konsistensi dari suatu gerakan diperlukan sebuah konsolidasi yang matang dari berbagai pergerakan. Sebab, banyaknya gerakan yang tidak bisa berjalan beriringan menjadi kendala terbesar yang harus dihadapi. 

Keputusan mahasiswa untuk terus menerabas dan menggaungkan aksi penolakan UU Cipta Kerja meski dalam kondisi krisis pandemi tentu tak lepas dari sorotan publik. Menurut Dzaki, keadaan pandemi pasti menjadi salah satu pertimbangan yang getol diperbincangkan sejak awal. Namun, Dzaki juga percaya jika dalam kondisi seperti ini kita perlu untuk memperhatikan sebuah permasalahan yang memiliki kegentingan memaksa. UU Cipta Kerja patut untuk diberi atensi sebab terdapat kebijakan yang memberangus hak-hak rakyat. Mahdi juga menambahkan jika kali ini mahasiswa tengah ditempatkan pada posisi yang dilematis. Dimana kita harus berhadapan dengan kondisi pandemi dan juga kecarut-marutan legislasi. 

Berdasarkan subjektivitas Mahdi, Covid-19 memang menjadi sedikit batasan bagi mahasiswa dalam menggalakkan protes-protes terhadap pemerintah dan juga DPR. Namun, jangan lalu melupakan jika mereka turut memanfaatkan kondisi ini untuk melancarkan gerakan senyap dengan menerjang pembahasan UU Cipta Kerja. Mahdi berpandangan entah pandemi ataupun cipta kerja, keduanya dapat menjadi pedang yang suatu saat mampu menebas nyawa seseorang. Di sisi lain, Zaki dan Mahdi sama-sama menegaskan bahwa tak ada sebuah keharusan bagi mahasiswa untuk andil dalam aksi.  Semuanya didasarkan pada pertimbangan subjektif setiap individu mengingat banyaknya risiko yang mengancam. 

Jika berbicara mengenai aksi demonstrasi, tak jarang kita temui pemberitaan mengenai kerusuhan. Banyak muncul sebuah pemikiran yang menjadikan kerusuhan sebagai strategi terkini untuk meneriaki telinga pejabat publik. Meskipun demikian, Dzaki dan Mahdi sepakat jika aksi rusuh yang merusak fasilitas umum bukanlah tindakan yang elok. Namun, Mahdi juga mengungkap kemungkinan alasan dibalik kerusuhan tersebut disebabkan oleh tidak tersedianya sebuah pilihan. Masa demonstrasi tengah diapit oleh situasi yang sama-sama tidak menguntungkan. Kericuhan menjadi simbol akan kejenuhan aksi damai yang selalu dibayar dengan sebuah keabaian pemerintah. 

Di sisi lain, Dzaki turut menambahkan sebuah perumpamaan yang indah dari seorang sejarawan yang mengatakan bahwa kisruh demonstrasi ini ibarat sebuah bisul yang pecah. Tentu saja dapat dibayangkan betapa baunya sangat menyengat dan menjijikkan. Namun, bisul yang pecah itu seakan menunjukkan suatu kisah menyakitkan yang sudah tertimbun sejak sekian lama. Kekecewaan dalam hal banyaknya kecacatan legislasi terasa sudah sampai pada titik penghabisan. Jika kita mau dan mampu membuka perspektif lebih luas dan memahami cara pandang orang lain, terdapat hal-hal mendasar yang sejatinya dapat dimaklumi oleh hati nurani. 

Terlepas dari hakikat alasan yang mendasari kerusuhan aksi demonstrasi, terdapat permasalahan baru yang muncul. Pandangan masyarakat kini seakan mulai teralihkan kepada “ricuhnya” demonstrasi dibandingkan substansi yang diusung dalam tuntutan. Timbul opini yang menyudutkan aksi mahasiswa terlalu berlebihan dan merugikan. Bagi Mahdi, melihat siapa yang berbicara juga akan menentukan makna dibalik ungkapannya. Terlebih jika yang berbicara adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Selain itu, Dzaki juga menambahkan jika opini tersebut muncul akibat adanya ketidakpahaman akan apa sebenarnya gagasan dibalik pergerakan ini. Keduanya juga sepakat, apapun opini publik yang berkaitan dengan hal ini sah-sah saja karena memang setiap individu memiliki hak untuk berpendapat.

Salah satu hal menarik yang turut menjadi sorotan ialah permainan politik pemerintah dan DPR yang terasa menggairahkan kembali semangat represifitas orde baru. Menurut subjektivitas Mahdi, memang tertangkap sinyal demikian. Berlindung kepada pendapat ahli, Zainal Arifin Mochtar, mengibaratkan sebagai sebuah mobil yang arahnya sedang berputar ke masa lalu. Memang masyarakat tidak dibungkam terang-terangan seperti dahulu, tetapi kini pendapat-pendapatnya sudah tidak lagi didengarkan. Dari segi esensi akan bermakna serupa meskipun dikemas dengan cara yang berbeda.

Dzaki juga menambahkan, jika dulu cara membungkam masyarakat hanya dengan “menghilangkan” , kini dapat dilakukan cukup dengan meretas gawai dari korban. Terbukti dengan beberapa kasus yang sudah secara nyata terjadi. Dzaki dan Mahdi sama-sama tidak mengetahui apakah dapat dibenarkan jika orde baru jilid 2 memang terjadi. Namun yang pasti, keduanya sepakat jika reformasi tengah berjalan mundur. Mahdi dan Dzaki berharap kedepannya pemerintah dapat merendahkan hati dan mau mendengarkan kritik dari masyarakat serta mengupayakan dialog dengan lebih memperhatikan aspirasi-aspirasi publik. 

Penulis: Fatih Erika Rahmah, Latif Putri Ma’rufah (Magang)
Editor: Faiz Al-Haq
Sumber Foto: Redaksi/Akmal Prantiaji Wikanantha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *