Situasi penegakan hukum di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Dalam berbagai kasus aparat penegak hukum seringkali bermain dengan hukum, menjadikan kewenangan dan jabatan mereka sebagai komoditas dalam perdagangan perkara. Baru-baru ini majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung secara mengejutkan memvonis bebas Hakim Agung Gazalba Saleh dalam kasus suap yang menjeratnya.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut agar Gazalba Saleh dihukum pidana selama 11 tahun penjara ditambah dengan denda Rp1 miliar. Melansir dari BBC News Indonesia, Hakim Agung tersebut diduga menerima suap sebesar S$ 20.000 dalam kasasi perkara pidana Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana. Menanggapi putusan tersebut, JPU pastikan perkara Gazalba Saleh naik ke tahap kasasi.
Masalah yang Kian Mengakar
Praktik perdagangan perkara dan penyalahgunaan jabatan atau kewenangan aparat penegak hukum merupakan persoalan kronis dalam penegakan hukum di negara kita. Permasalahan yang kita kenal sebagai korupsi peradilan ini, kini telah merambah ke berbagai institusi penegak hukum.
Di Institusi Kepolisian misalnya, beberapa hari lalu seorang aparat berinisial BK dituntut 10 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta karena dinilai terbukti menerima suap senilai Rp57 miliar. Bahkan, kita sempat digegerkan dengan kasus suap penerimaan calon Bintara Polri di Jawa Tengah beberapa bulan yang mencapai total Rp9 miliar.
Lembaga pengadilan sebagai ujung tombak dalam proses peradilan perkara pun telah terjangkit oleh penyakit yang sama. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2012-2022, terdapat 21 hakim yang tersandung kasus korupsi. Situasi tersebut menempatkan Institusi Pengadilan sebagai lembaga terkorup nomor empat setelah Kepolisian pada tahun 2020 melalui survei Global Corruption Barometer (GCB). Bahkan, hasil survei yang dilakukan Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa 79 persen responden mengaku pernah ditawari opsi peringanan hukuman dengan cara membayar ‘upeti’.
Benteng Terakhir nan Rapuh
Menjadi ironi melihat kenyataan bahwa Lembaga Pengadilan yang seharusnya menjadi benteng pertahanan yang kokoh justru sangat rapuh. Kerapuhan tersebut pada akhirnya melebarkan jurang ketidakpastian dan ketidakadilan. Mengakibatkan hukum bisa dibeli dan yang salah bisa menjadi benar. Seakan memperjelas bahwa ungkapan ‘hakim adalah wakil Tuhan di dunia’ hanyalah khayalan semata yang justri menunjukkan bahwa Tuhan tidak dapat diwakilkan.
Pentingnya Lembaga Pengadilan dalam penegakan hukum secara jelas dimuat dalam Konstitusi kita. UUD NRI 1945 dalam Pasal 24 ayat (2) secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan diselenggarakannnya peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan. Urgensi tersebut sejalan dengan struktur ketatanegaraan kita yang menganut konsep Trias Politica. Dalam konsep Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu tersebut kekuasaan dibagi menjadi tiga, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Yudikatif berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap cabang kekuasaan yang lain untuk mempertahankan hukum yang berlaku. Salah satu tujuannya adalah untuk menciptakan checks and balances terhadap kemungkinan penyimpangan yang ada. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Apa jadinya jika lembaga pengawas yang dimaksud justru bertindak sebagai lembaga yang krusial untuk diawasi?
Mengangkat Marwah
Reformasi penegakan hukum dalam institusi pengadilan (mulai dari Mahkamah Agung/MA hingga lembaga pengadilan di bawahnya) menjadi solusi yang sangat penting untuk menghentikan penyakit yang kian mengganas. Reformasi tersebut juga harus dilakukan secara holistik mengingat bahwa ‘permainan’ yang ada tidak hanya dilakukan oleh petugas biasa, namun juga oleh ketua pengadilan bahkan hingga hakim agung. Dimana pada Mei bulan lalu, seorang Hakim Agung divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 8 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar atas kasus suap yang menjeratnya.
Sistem pengawasan menjadi hal pertama yang penting untuk dibenahi. Banyaknya kasus yang menjerat aparat di institusi pengadilan mengindikasikan proses pengawasan yang lemah, baik pengawasan internal maupun eksternal. Badan Pengawas sebagai pengawas internal memiliki cakupan tugas yang terlampau luas yang mencakup seluruh hakim di Indonesia. Sementara pengawasan oleh atasan menjadi hal yang rumit karena dalam berbagai kasus atasan pun ikut bermain. Begitu pula dengan pengawasan eksternal, Komisi Yudisial (KY) hanya memiliki kewenangan untuk memberikan surat rekomendasi atas sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan. Karenanya, penguatan lembaga pengawas menjadi suatu keharusan.
Selain itu, pengetatan prosedur mutasi dan promosi perlu dilakukan. Tujuannya agar aparat yang menduduki jabatan strategis betul-betul memiliki integritas dan moralitas yang layak. Sehingga pengawasan terhadap aparat di bawahnya dapat berjalan maksimal. Pembinaan juga menjadi hal yang krusial. Melalui implementasi pembinaan yang tepat, harkat, martabat, serta kesadaran aparatur hakim maupun non hakim akan pentingnya posisinya dapat mecegahnya dari penyimpangan.
Keseriusan dalam mengatasi permasalahan ini menjadi kunci berhasilnya reformasi dalam tubuh institusi pengadilan. Tidak hanya menjadi tugas dari MA atau KY, namun partisipasi dari pemerintah dan segenap warga negara Indonesia juga dibutuhkan. Mari bersama kita tempa ujung tombak yang retak.