web analytics
FEMINIST LEGAL THEORY DAN PENERAPAN HUKUM DI INDONESIA

FEMINIST LEGAL THEORY DAN PENERAPAN HUKUM DI INDONESIA

Pembentukan peraturan hukum yang acap kali tidak didasarkan oleh pengalaman yang dialami oleh perempuan menyebabkan produk-produk hukum tersebut banyak terpengaruh dari konstruksi paradigma patriarki. Pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki mengakibatkan perempuan terbelenggu oleh perlakuan diskriminatif yang berimplikasi memperkokoh sosial yuridis budaya patriarki. Ketimpangan peran laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural yang menyebabkan individu dalam kehidupan bermasyarakat tidak memiliki akses yang setara. Selain itu, produk kebijakan pemerintah yang selama ini tidak peka terhadap kebutuhan perempuan menjadikan perempuan sering menjadi korban dari kebijakan tersebut.

Untuk mengatasi hal-hal demikian, dibutuhkan perspektif feminisme dalam pembentukan hukum positif di Indonesia. Salah satunya dengan menerapkan konsep Feminist Legal Theory. Feminist Legal Theory adalah teori hukum yang lahir dari pemikiran kaum feminis, yakni orang-orang yang meyakini bahwa perempuan mendapatkan perlakuan yang tidak adil karena jenis kelaminnya dan mengupayakan hapusnya ketidakadilan tersebut. Feminist Legal Theory dalam Oxford Dictionary of Law diartikan sebagai gerakan luas yang berusaha menunjukkan bagaimana teori hukum konvensional jauh dari buta-gender dan mengabaikan posisi dan perspektif perempuan. Teori ini merupakan bagian dari usaha pembangunan sistem hukum nasional yang memiliki tujuan memperjuangkan kesetaraan gender dalam kaitannya dengan perempuan sebagai seorang manusia yang sudah seharusnya dipertimbangkan kebutuhannya sebagai suatu sistem nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial yang kemudian dijadikan sebagai dasar dalam membentuk dan membangun suatu sistem hukum.

Feminist Legal Theory penting untuk diperhatikan dalam penerapan hukum sebagai upaya untuk membentuk peraturan yang lebih berpihak pada kesetaraan gender. Hal ini didasarkan pada salah satu asas hukum yakni perlakuan yang sama di depan hukum (Equality before the Law). Kesetaraan gender menuntut bahwa hukum harus memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap individu tanpa memandang jenis kelamin. Hukum tidak boleh diskriminatif dan haruslah menjunjung, menghormati, dan melindungi prinsip kesetaraan dalam berbagai aspek, termasuk hak-hak individu.

Feminist Legal Theory yang tidak diperhatikan dalam penyusunan hukum berakibat pada masih kuatnya aspek sejarah dan budaya yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang disubordinasikan karena adanya budaya patriarki secara tidak langsung membuat posisi perempuan terpinggirkan dari kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Selain itu, budaya patriarki juga menimbulkan berbagai permasalahan sosial seperti KDRT, kekerasan seksual, pernikahan dini, dan lain sebagainya.

Lemahnya perlindungan hukum bagi perempuan juga menimbulkan fenomena yang disebut Victim Blaming, yakni kondisi dimana korban menjadi objek atau sasaran suatu kejadian. Misalnya dalam kasus pelecehan seksual, terdapat anggapan bahwa hal tersebut sebenarnya disebabkan oleh sebenarnya perempuanlah yang harus disalahkan, baik dari cara berpakaian, perilaku, kapan pelecehan terjadi, maupun alasan-alasan lain yang tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku yang pada akhirnya, para korbanlah yang dipermalukan dan dianggap hina oleh lingkungan sosial.

Dalam penerapan hukumnya di Indonesia, lemahnya perlindungan hukum bagi perempuan ini dapat dilihat pada beberapa fenomena, contohnya sistem peradilan pidana khususnya kasus pemerkosaan yang korbannya adalah perempuan, ia diharuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hakim berkaitan dengan kronologi sehingga ia harus mengulas kejadian traumatis yang dialaminya. Kemudian, praktik perkawinan poligami yang terjadi di Indonesia juga memberikan dampak negatif terhadap istri dan anak seperti dampak psikologis, ekonomi, hukum, kesehatan, kekerasan, perasaan tersisihkan, kurang kasih sayang, dan lain-lain. Walaupun terdapat syarat-syarat yang perlu dipenuhi dalam praktik poligami seperti izin yang harus diberikan istri, jaminan bahwa suami mampu memenuhi keperluan-keperluan hidup, serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil, ketiga syarat tersebut sebenarnya bukanlah hal yang dapat dipastikan di awal perkawinan sehingga sangat dimungkinkan bahwa hal tersebut tidak terpenuhi seiring berjalannya rumah tangga, serta dalam konteks ketenagakerjaan yang pada realitanya kurang memberikan hak-hak perempuan seperti mempersulit izin cuti menstruasi atau kurangnya masa cuti bagi suami yang istrinya melahirkan yakni hanya terhitung paling lama dua hari seperti yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 mengindikasikan bahwa pembentuk undang-undang masih menempatkan beban mengurus anak hanya merupakan tanggung jawab istri semata, suami tidak wajib dilibatkan pada hari-hari pertama kelahiran anak.

Untuk itu, kebijakan hukum (legal policy) yang ada seharusnya bisa lebih disesuaikan dengan keadilan terhadap gender yakni dengan memberikan perlindungan hukum yang sesuai bagi perempuan. Namun, pada kenyataannya keadilan terhadap gender belum teraplikasikan dengan baik yang disebabkan oleh produk hukum yang masih menampilkan potret injustice terhadap perempuan karena pembentukan peraturan perundang-undangan di parlemen selalu didominasi oleh laki-laki yang kemudian memungkinkan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang dalam perumusan dan pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga pengalaman perempuan kurang menjadi pertimbangan dalam perumusan suatu norma hukum. Hal ini tentu harus menjadi perhatian baik pemerintah maupun warga negara untuk lebih mempertimbangkan hak-hak perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

 

Penulis: Yasmin

Penyunting: Muhammad Annas, Hestina

Leave a Reply

Your email address will not be published.