Diskusi buku “Mendengar Suara Korban Series #1: Memburu Keadilan” hasil kolaborasi LSJ Fakultas Hukum UGM, Dewan Mahasiswa Justicia, LEM Fakultas Kehutanan UGM, dan BEM KM UGM yang dihadiri civitas akademika UGM bertempat di Auditorium Gedung B Fakultas Hukum (FH) UGM pada Kamis (15/9).
Justitiae non est neganda, non differenda sebuah adagium hukum yang dibutuhkan Indonesia, adagium yang memiliki arti keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda merupakan hal yang dicari oleh Andayani sebagai salah satu orang tua dari korban salah tangkap klitih gedongkuning.
“Mamah nggak tau kan hidup di penjara, coba mama sehari saja di penjara aku yakin mama nggak tahan, disini sehari rasanya kayak setahun,” ucap Andi kepada Andayani di sel tahanan. Rasa malu, sedih, kecewa dan takut harus dirasakan oleh Andayani selama satu tahun ini karena tragedi salah tangkap klitih gedong kuning. Buku yang ditulis oleh Andayani merupakan salah satu perjuangan dalam mencari keadilan.
Buku ini menceritakan tentang anak Andayani, yakni Andi yang mendapatkan vonis 6 tahun penjara, mengalami penganiayaan aparat kepolisian selama berada sel tahanan, dan harus putus kuliah. Andayani juga memaparkan berbagai kejanggalan yang dialaminya selama proses pengadilan. Buku “Memburu Keadilan” akan terus berkembang hingga Andi mendapat keadilan.
“Agak khawatir sebenarnya, dengan dunia pendidikan tinggi yang semakin absen bicara soal keadilan, atau semakin terbatas memperbincangkan ketidakadilan,” ujar Herlambang.
Selaku dosen FH UGM, Herlambang mengatakan seharusnya persamaan di muka hukum berkaitan dengan peradilan yang jujur, peradilan yang memberikan proses sesuai dengan ketentuan, dan memang memberikan keadilan pada siapapun tanpa memandang status sosial.
Eko Prasetyo selaku salah satu narasumber mengomentari betapa tidak mudahnya tim advokasi untuk mengajak anak-anak muda untuk peduli dengan kasus serupa. Tidak mudah agar kampus mau terlibat dengan persoalan yang harus berhadapan dengan otoritas yang selama ini bertemu berulang ulang. Eko mengatakan kasus ini seperti berada diatas panggung terang benderang karena korban salah tangkap tidak sedang berada di tempat kejadian, tidak ada bukti, dan tidak ada saksi. Namun semua itu nyaris gugur ditengah jalan karena hakim lebih berpihak pada opini.
Mirisnya, penangkapan Andi dilakukan oleh tetangganya sendiri yang merupakan seorang polisi. Penangkapan tersebut membuat Andayani takut dan memutuskan untuk membuat suatu memoar bersama orang tua korban salah tangkap lainnya. Memoar tersebut berisi pengalaman berhadapan dengan otoritas. Bagaimana anak-anak mereka harus berhadapan dengan struktur hukum yang bener bener mengabaikan hak hak mereka.
Arifin Setyo yang juga hadir sebagai narasumber mengatakan bahwa kita semua sejatinya adalah pemburu keadilan. Arifin menjelaskan ada tiga pelanggaran hak yang dilakukan aparat penegak hukum dalam menangani sebuah kasus. Pelanggaran tersebut dilakukan dari segi struktural, budaya, dan substansi. Dari segi struktural, polisi kerap mendapat “target” kasus yang harus diselesaikan sehingga berakibat pada maraknya fenomena salah tangkap. Kejadian tersebut juga menimbulkan pragmatisme, penyiksaan, dan pemaksaan terhadap korban salah tangkap.
Dari ranah budaya, Arifin mengutip bahwa setiap kepolisian adalah aktor dan setiap aktor mempunyai motivasi, baik buruk maupun baik. Mirisnya, tak jarang terjadi pertentangan motivasi yang kemudian bermuara pada motivasi buruk untuk mengejar target. Sedangkan dari segi substansi, seringkali undang-undang memuat pasal-pasal yang mengakomodir untuk menjamin dan menghormati hak-hak korban. Namun, implementasinya masih sering tidak selaras. Arifin menyayangkan tindakan aparat negara yang masih kerap menyelewengkan hak-hak korban.
Reporter : Fitria, Izza, & Nesha
Penulis : Iffa & Nesha
Penyunting : Putri