web analytics
Mendengar Suara Korban: Karut Marut Klaim Hak Atas Tanah Sultan Ground

Mendengar Suara Korban: Karut Marut Klaim Hak Atas Tanah Sultan Ground

Episode kedua diskusi buku “Mendengar Suara Korban Series #1: Memburu Keadilan” yang mengulas serangkaian buku pencarian keadilan diselenggarakan di Auditorium Gedung B Fakultas Hukum UGM pada Kamis (21/9). Pada diskusi tersebut, buku berjudul “Catatan dari Orang Kecil untuk Orang Kecil” yang ditulis oleh Kawit dikupas tuntas oleh civitas akademika UGM.

Buku karya Kawit membahas mengenai perjuangan Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) mencari keadilan dalam konflik penggusuran paksa Pantai Parangkusumo. Konflik agraria tersebut telah berlangsung sejak 2007 dan buku ini merupakan tanggapan representatif dari masyarakat terhadapnya.

“Kita ke gedung gubernur, ke DPRD seminggu sekali, sebulan sekali, demo terus sampai ekonomi saya lumpuh karena kita harus pergi kemana-mana,” ucap Kawit.

Kawit menyatakan penolakannya untuk menerima ganti rugi dan relokasi penggusuran paksa Pantai Parangkusumo menyimbolkan bahwa upayanya dalam memperjuangkan hak atas tempat tinggalnya belum selesai. Beriringan dengan perjuangan tersebut, Kawit mendirikan dan mengelola Sanggar Kuncup Melati yang merupakan sarana pembelajaran untuk anak-anak yang kurang mampu di daerah tempat tinggalnya. Namun, perjuangan tersebut justru diselingi aksi teror dari orang-orang tidak dikenal.

“Kalau (teror) ditakut-takuti mau dikarungin, mau dibuang dimana lah, itu banyak mas,” tutur Kawit menceritakan aksi teror yang diterima masyarakat Parangkusumo selama memperjuangkan hak atas tanah mereka. 

Rikardo Simarmata menjelaskan bahwa kasus penggusuran paksa Pantai Parangkusumo perlu ditinjau dari sisi non hukum. Ia mengatakan masyarakat mengalami ketidakadilan akibat penggusuran paksa padahal Indonesia menganut konsep siapa yang melakukan penguasaan efektif terhadap tanah, maka ia berhak atas prioritas mendapatkan hak atas tanah. 

“Yang dikuasai efektif (oleh keraton) kan istana dan kompleks, tetapi yang di Parangkusumo ini kan masyarakat nggak pernah melihat manifestasi keraton. Entitas yang sudah lama banget nggak mengurus hal itu (Parangkusumo) tiba-tiba dikasih hak oleh undang-undang keistimewaan. Nggak masuk akal kan?” ujar Rikardo. 

Menurut Rikardo, penggusuran paksa Pantai Parangkusumo akan mempertajam ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat dan keraton pakualaman. Klaim tanah menjadi sultan ground akan berimplikasi terhadap lemahnya jaminan hukum yang dimiliki oleh masyarakat atas hak milik tanah mereka. 

Menanggapi pemaparan Rikardo, Eko Teguh Paripurno menyatakan perebutan klaim hak atas tanah kerap menisbikan fungsi dan kelestarian ekologi lahan terkait. Ia mengatakan perebutan antara pemerintah dan masyarakat umumnya bersifat antroposentris alih-alih ekosentris. Hal tersebut berpotensi meningkatkan risiko bencana alam akibat rusaknya lingkungan. Lebih lanjut lagi, Eko menegaskan relokasi masyarakat harus mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan sosial mereka. 

“Penempatan pemilihan (lokasi relokasi) yang partisipatif itu menarik untuk dilakukan. Misalnya untuk kasus Palu, nelayan dijauhkan betul dari kampung nelayannya. Ya nggak bisa hidup,” kata Eko. 

Eko menjelaskan bahwa dalam merelokasi dan menata ulang kawasan penggusuran, pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal penting yang meliputi pertimbangan jarak aman, ketinggian tanah yang aman, dan tidak berhenti pada relokasi saja. Relokasi harus disertai dengan jaminan bahwa masyarakat yang digusur dapat melanjutkan kehidupannya dengan aman dan sejahtera.

 

Reporter : Putri, Radea, Hilman, Yogi

Penulis : Putri & Radea

Penyunting : Putri 

Leave a Reply

Your email address will not be published.