web analytics
Proyek Suar Nestapa (PSN): Hangusnya Hak Atas Tanah Masyarakat Rempang

Proyek Suar Nestapa (PSN): Hangusnya Hak Atas Tanah Masyarakat Rempang

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Fakultas Hukum UGM (LSJ) berkolaborasi dengan Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan HAM (Pandekha) mengadakan diskusi bertajuk “Hak Atas Pembangunan: Refleksi dari Konflik Agraria Rempang dan Program Strategis Nasional” yang bertempat di Auditorium Gedung B Fakultas Hukum UGM pada Rabu (27/9). 

Dalam diskusi tersebut, Maria S. W. Sumardjono menyoroti tidak adanya fairness dalam proses pengadaan tanah Rempang untuk yang ditujukan untuk pembangunan proyek Eco City. Menurutnya, proyek tersebut hanya membebankan kewajiban tanpa memperhatikan Hak Asasi Manusia yang seharusnya diperoleh warga Rempang. Padahal dalam konteks pembangunan, pemerintah harus menjamin terpenuhinya hak untuk berpartisipasi, hak untuk berkontribusi, dan hak untuk menikmati secara kumulatif.

“(Warga Rempang) tanggal 7 September itu kaget sekali kok tiba-tiba pada dateng mau pasang patok, lah kalo berkomunikasi kan ndak mungkin ya. Jadi tidak ada hak untuk berpartisipasi apalagi berkontribusi dan menikmati,” ujar Maria.

Maria menjelaskan adanya kecenderungan pengambilan keputusan satu arah dalam pelaksanaan diakibatkan oleh penetapan Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Dari segi yuridis, UU 11/2020 dan PP 23/2021 menjadi tameng justifikasi dengan menyatakan bahwa hutan lindung dan konservasi boleh dilepaskan untuk kepentingan pembangunan PSN. 

“Pokoknya PSN itu uber ales lah, di atas segala-galanya kayak Hitler sedikit lah,” tutur Maria. 

Rakhmadian Siraj selaku Ketua Forum Mahasiswa Riau di Yogyakarta menjelaskan bahwa penolakan relokasi dari Rempang dilatarbelakangi oleh konflik horizontal yang timbul antara warga asli Rempang dan warga pendatang yang saat ini berdomisili di Rempang. Rakhmadian mengatakan ‘pecah dalam’ terjadi karena warga pendatang memanfaatkan kesempatan relokasi untuk mendapat legalitas hak atas tanah di tanah adat Galang.

“(Saat ini) di Rempang masih ada selisih paham antara warga Rempang asli dan warga Rempang pendatang. Tapi sampai saat ini warga Rempang asli masih menolak keras relokasi,” ucap Rakhmadian.

Sejalan dengan penjelasan Maria, Saurlin Siagan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan bahwa PSN menjadi problematika karena tidak adanya proses yang wajar ketika menjadi PSN maka menjadi based world memiliki keistimewaan di lapangan. 

Saurlin Siagan lebih lanjut mengatakan bahwa Komnas HAM sendiri telah melakukan upaya dalam kasus Rempang ini yang pertama melacak fakta-fakta peristiwa kekerasaan yang hingga sekarang masih akan terus berlangsung dan kedua mengupayakan profiling terhadap Kampung Tua. 

“Kami memiliki posisi yang tegas. Pertama, masyarakat yang berada di Rempang utamanya yang 16 Kampung Tua harus didengarkan lebih awal dan jika mereka memilih untuk tidak direlokasi, seharusnya pemerintah mempertimbangkan untuk operasi perusahaan, bukan merelokasi masalahnya. Sikap Komnas HAM lainnya supaya PSN di Pulau Rempang bisa ditinjau kembali untuk menurunkan eskalasi yang terjadi saat ini,” ucap Saurlin 

Suarlin menjelaskan bahwa pada 25 September 2023 Komnas HAM mengadakan rapat bersama beberapa kementerian dan lembaga. Dalam rapat tersebut Komnas HAM tetap menegaskan posisinya. Pertama, polisi dan pemerintah dapat mengedepankan restorative justice untuk beberapa warga Rempang yang saat ini ditahan. Kedua, dalam pelaksanaan proyek Rempang Eco City lebih mengedepankan prinsip persetujuan bebas, dahulukan, dan informasikan yang juga sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Ketiga, Kepolisian RI berkomitmen menindaklanjuti perkara penanganan situasi yang terjadi pada peristiwa 7 September dan 11 September 2023. Terakhir, terkait relokasi terdapat perubahan dimana relokasi warga yang terdampak akan ditempatkan di Pulau Rempang bukan di Pulau Galang dan akan mendapatkan tunjangan kehidupan dan perumahan. 

Herlambang Wiratraman dalam diskusi ini menyoroti terkait hak asasi atas pembangunan atau right to development yang mana saat ini hal yang seharusnya menjadi masalah justru tidak dianggap sebagai masalah karena di-legalize atau dihukumkan (dibuat aturannya). Misalnya, dalam kasus Rempang ini ada ‘kejar tayang’. Status Rempang Eco City dinaikkan statusnya setelah ada investasi per 28 Agustus menjadi PSN yang berimplikasi pada jangkauan kawasan yang dapat dilepas (deforestasi). 

“Melanggar hak asasi, kalau zaman Marsinah harus diculik dibunuh, (sedangkan) sekarang dibikinkan undang-undangnya. Kalau korupsi dulu mengambil uang terkena Undang-Undang Tipikor, tapi karena sekarang difasilitasi perizinan, korupsi di sektor sumber daya alam makin masif,” ucap Herlambang.

Herlambang melanjutkan bahwa penggusuran atau pengosongan adalah hal yang melanggar konstitusi dan bukan sekadar problem administrasi. Sebenarnya, hak atas pembangunan itu bukan hanya untuk individu tetapi secara kolektif. Sekarang ini banyak kasus yang menyingkirkan hak masyarakat karena banyak proyek yang menggusur mereka dan semakin banyak pelanggaran HAM yang eksesif atau brutal dengan menggunakan instrumen hukum. Dalam hal ini Herlambang menyebutnya dengan ‘muslihat hukum’.

“Apakah atas nama ‘strategis’ bisa mengubah banyak hal terutama secara hukum administrasi negara, hukum tata negara, hukum hak asasi manusia, semua kayak di trabas,” ucap Herlambang 

Kewajiban negara seharusnya melindungi dan memproteksi warga negaranya. Maka apabila terdapat pembangunan, people center adalah warga negara dengan negara berkewajiban untuk menghargai dan melindungi. Partisipasi masyarakat disini harus dijamin, harus bisa menentukan nasibnya sendiri, harus dihargai, dan tidak boleh diultimatum. Negara harus menjamin adanya perlindungan Hak Asasi Manusia karena pembangunan apapun tidak boleh mencederai hak siapapun. Tetapi idealisme tersebut kerap tidak sejalan dengan PSN sebagai sumber terbanyak dari konflik agraria. 

“Saya khawatir, masa depan Indonesia akan berubah banyak karena Proyek Strategis Nasional, bukan karena masyarakatnya anti pembangunan tetapi cara-cara yang digunakan serba menerobos dan melewati prinsip Hak Asasi Manusia,” tambah Herlambang.

 

Reporter: Annas, Fitria, Putri

Penulis: Fitria & Putri

Penyunting: Putri

Leave a Reply

Your email address will not be published.