web analytics
Hoax dan Manipulasi Informasi Pemilu: Ancaman Terhadap Hak Memilih Calon Pemilih Pemilu 2024

Hoax dan Manipulasi Informasi Pemilu: Ancaman Terhadap Hak Memilih Calon Pemilih Pemilu 2024

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengadakan diskusi media yang membahas hasil temuan berita bohong (hoax) yang muncul jelang pemungutan suara bertempat di Media Center Bawaslu RI pada Senin (12/02). Diskusi tersebut dihadiri oleh Bawaslu, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Perludem, dan Sherly Aristya yang merupakan seorang peneliti independen. 

Pada awal diskusi, BSSN memaparkan bahwa dalam masa kampanye terdapat peningkatan disinformasi. Disinformasi diperparah dengan semakin maraknya konten-konten di media sosial yang dibuat menggunakan artificial intelligence (AI) dan akun bot yang mengarah pada tindakan yang berbahaya. Terlebih, jelang pemungutan suara terdapat perangkat pembahaya (malware) yang disisipkan dalam hoax. Malware yang saat ini telah menyebar ke masyarakat yaitu cekdatapemilihanumum.apk, daftarpemilu2024.apk, dan simulasipemilupilpres2024.txt.apk. 

Hoax malware agak berbeda dengan hoax lain yang lebih mengarah supaya orang berubah pikiran untuk memilih, nah untuk hoax yang diselipi malware tendensinya cukup beda lebih kepada motif ekonomi,” ujar Nurul Hasani. 

Lebih lanjut, Mafindo menambahkan bahwa sepanjang tahun 2023 telah ditemukan 2.330 hoax yang 1192 diantaranya bermuatan isu politik dan 642 hoax memuat isu pemilu. Angka ini menjadi rekor terbaru semenjak tahun 2020. Sementara itu, dalam kurun Januari 2024 saja, Mafindo menyebutkan terdapat 347 hoax yang 214 diantaranya berisi isu politik. Lebih spesifiknya, 150 hoax politik tersebut berkaitan dengan mendelegitimasi penyelenggara Pemilu. Mafindo juga menyatakan platform Youtube menjadi platform utama dalam penyebaran hoax, diikuti oleh Facebook, dan Tiktok dengan konten hoax paling mendominasi berbentuk video. Hoax Pemilu saat ini lebih didominasi pada konten saling serang antar kandidat presiden dan wakil presiden, serta pendukungnya. 

Hoaks penyelenggaraan Pemilu seringkali dipakai karena ada(nya) gap informasi, informasi(nya) ada tapi nggak disampaikan secara utuh dan menimbulkan kesalahpahaman,” ucap Septiaji. 

Perludem menyatakan berkaitan dengan disinformasi Pemilu, terdapat tiga kategori besar yaitu disinformasi yang menyerang peserta Pemilu, disinformasi yang menyerang proses Pemilu, dan disinformasi teknis kepemiluan. 

“Berbicara mengenai disinformasi teknis kepemiluan, ini yang harus menjadi perhatian karena sangat berpotensi menghilangkan hak pilih Pemilih,” ujar Nurul Amalia.

Nurul Amalia menjelaskan bahwa terdapat rekomendasi untuk penanganan disinformasi Pemilu yakni perlunya untuk melakukan deplatformisasi atau penghapusan akun-akun yang menyebarkan disinformasi. Selain itu, Bawaslu dan BSSN perlu melakukan penindakan hukum apabila ditemukan unsur-unsur pelanggaran pidana dan perlu adanya koordinasi antara masyarakat sipil serta platform media sosial perlu untuk mempercepat moderasi konten problematik. 

Menyambung penjelasan Nurul Amalia, Sherly Haristya menambahkan sebaiknya media sosial membuat standar komunitas terkait konten-konten yang dapat diunggah dan disebarluaskan. Tentunya standar komunitas ini dapat dibuat berbeda-beda dan menyesuaikan dengan ciri khas masing-masing platform. Hal itulah yang dinamakan dengan moderasi konten media sosial

“Media sosial harus memiliki kapasitas dan SDM yang cukup untuk mengawal Pemilu damai, tetapi perlu melakukan gotong royong yang erat antara media sosial, masyarakat sipil, dan otoritas Pemilu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dimana konten online bermasalah bisa berujung kerusuhan. Satu nyawa adalah berharga,” pungkas Sherly. 

Bawaslu menambahkan jika di masa tenang terdapat konten-konten berisi hoax yang meresahkan, maka Tim Pengawasan Siber Bawaslu akan melakukan siber cepat terhadap akun-akun penyebar hoax yang terdaftar di KPU. Tindakan siber cepat juga berlaku apabila akun-akun tersebut mengunggah ulang konten-konten yang dapat merugikan peserta Pemilu. 

“Seluruh akun media sosial, tidak hanya yang terdaftar tetap juga yang bergerak di publik menjadi pengawasan Bawaslu agar memastikan tidak ada hal hal yang dalam konteks ini bisa dikenakan (pelanggaran masa tenang),” pungkas Lolly. 

Berkaitan dengan temuan pelanggaran yang ditemukan Bawaslu dan Kominfo, terdapat 355 pelanggaran siber (342 diantaranya ditujukan kepada seluruh pasangan calon dan 13 diantaranya menyasar penyelenggara Pemilu) dengan kategori ujaran kebencian, hoax, dan politisasi suku, ras, serta agama.

Pada penghujung diskusi, Lolly memberikan pesan agar masyarakat termasuk peserta Pemilu dan pejabat negara untuk bijak dalam menggunakan media sosial demi menjaga kondisi kondusif agar tidak terjadi benturan keras layaknya Pemilu 2019. 

Penulis: Fitria Amesti Wulandari

Penyunting: Putri Pertiwi

Leave a Reply

Your email address will not be published.